Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Catatan HUT ke-15 LAPAR: Demokrasi dan Pluralisme Kuat di Wacana

tepatnya Tanggal 17 April 1999, LAPAR Sulsel hadir sebagai salah satu LSM untuk memberi konstribusi terhadap dinamika demokrasi

Editor: Ilham Mangenre
zoom-inlihat foto Catatan HUT ke-15 LAPAR: Demokrasi dan Pluralisme Kuat di Wacana
dok. tribun
Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi & Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel

MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM - Tahun 1999 merupakan tahun awal kran demokrasi terbuka lebar. Pertumbuhan organisasi masyarakat sipil pun signifikan, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi non pemerintah (Ornop).

Kehadiran organisasi masyarakat sipil seperti itu, di samping sebagai ekspresi terbebas dari kungkungan represif Orba sepanjang tiga dasawarsa lebih, juga sebagai tanda kuatnya keinginan masyarakat sipil berkonstribusi diatas panggung demokrasi.

Di tengah konteks itulah, atau tepatnya Tanggal 17 April 1999, Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Sulsel, hadir sebagai salah satu LSM di Sulsel untuk memberi konstribusi terhadap dinamika demokrasi, khsusunya diaras lokal Sulsel.

Kehadiran LAPAR Sulsel berupaya sekuat mungkin terhadap pembangunan demokrasi yang kuat pula, dan pengelolaan pluralisme yang manusiawi untuk kehidupan yang berkeadilan dan demokratis, khususnya di Sulsel.

Tetapi di tengah upaya itu, LAPAR menemukan sejumlah realitas yang justeru tidak relevan dengan penumbuhan demokrasi yang kuat dan penciptaan pranata pluralitas yang manusiawi. Sejumlah indikasi dapat menjelaskan semua itu.

Pertama, demokrasi. Pasca reformasi tahun 1998, di Sulsel panggung demokrasi didominasi elite lama-orang kuat lokal dengan jejaringnya.

Mereka adalah pihak-pihak yang sejak rezim Orde Baru memiliki akses yang kuat terhadap sumberdaya ekonomi, politik, dan sosial. Mereka pun memiliki jangkar kuat pada lapis birokrasi.

Melalui multi sumber daya itu, maka panggung-panggun demokrasi disesaki oleh mereka dan jejaringnya.

Menariknya, sebab dominasi itu diisi dengan logika demokrasi, bahkan instrumen-instrumen demokrasi juga dilaluinya.

Ketika otonomi daerah resmi diterapkan 2001 silam, kelompok itu pun tak ketinggalan menyuarakan desentralisasi.

Namun, desentralisasi yang diteriakkan targetnya untuk meluaskan ruang penguasaannya terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik.

Ketika otonomoni daerah diterapkan tahun 2001 silam, elite lokal yang berjangkar pada birokrasi berpacu memompa ekonomi lokal dalam bentuk PAD.

Argumentasinya, desentralisasi harus diapresiasi dengan kekuatan ekonomi lokal. Di sini, investasi di aras lokal dipompa sedemikian rupa.

Tanda-tanda liberalisasi ekonomi diranah lokal menampakkan wujudnya. Akibatnya, sumber-sumber penghidupan rakyat kadangkala menguap diambil alih investor atasnama pembangunan.

Akibat lain, rusaknya daya dukung lingkungan hidup akibat investasi yang massif itu harus dirasakan secara berjamaah dalam bentuk bencana.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved