Cinta Sejati di Soppeng
Pasangan Lansia di Soppeng Wafat di Hari Sama, Ahli Psikologi Sebut Fenomena “Dying of Grief
Wafatnya pasangan asal Desa Lalabata Riaja, Kecamatan Donri-Donri ini menjadi refleksi dari keberadaan keterikatan emosional yang sangat kuat
Penulis: Kaswadi Anwar | Editor: Ari Maryadi
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Kematian pasangan lanjut usia di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan (Sulsel), menjadi perhatian publik.
Pasangan Husen (75) dan Habibah (75) membuktikan sebuah cinta sejati, sehidup semati.
Pasangan ini meninggal dunia di hari yang sama, Minggu (12/10/2025).
Habibah menghembuskan napas lebih dulu.
Dua jam berselang Husen menyusul sang istri tercinta menghadap ke Sang Khaliq.
Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Wilayah Sulsel Ahmad Ridfah membeberkan, pandangannya secara psikologi atas kematian Husen dan Habibah.
Ia mengatakan, wafatnya pasangan asal Desa Lalabata Riaja, Kecamatan Donri-Donri ini menjadi refleksi dari keberadaan keterikatan emosional yang sangat kuat.
Pada usia lanjut, pasangan hidup sering kali menjadi pusat dari sistem dukungan emosional dan identitas diri.
"Kehilangan pasangan bukan hanya bermakna kehilangan seseorang yang dicintai, tetapi juga kehilangan bagian dari struktur psikologis yang menopang keseharian dan rasa makna hidup," katanya saat dihubungi Tribun-Timur.com, Senin (13/10/2025).
Ahmad Ridfah menyebut, dalam beberapa kasus hal ini respons psikologis dan fisiologis yang sangat intens.
Secara klinis, kondisi ini dikenal sebagai “dying of grief” —kematian yang terjadi akibat duka mendalam.
Ada pula istilah medis yang relevan, yaitu Broken Heart Syndrome.
Kondisi ini tubuh secara harfiah merespons tekanan emosional ekstrem dengan gangguan jantung yang serius.
Peristiwa Husen dan Biba bukan sekadar kisah kehilangan, melainkan juga cerminan dari lifelong attachment-keterikatan yang terbentuk dan terpelihara selama puluhan tahun.
Dalam konteks psikologi perkembangan, ini menunjukkan bahwa cinta dan kelekatan di usia lanjut dapat menjadi kekuatan yang luar biasa, bahkan hingga akhir hayat.
"Dari sini, poinnya setidaknya tiga, pertama keterikatan emosional yang mendalam, kedua sudah puluhan tahun membangun identitas bersama, ketiga guncangan emosional akibat kehilangan," sebut dosen Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM) ini.
Ahmad Ridfah menuturkan, kematian karena kehilangan sosok tercinta bisa diminimalisir.
Caranya dengan jejaring sosial yang kuat. Tidak fokus melulu pada pasangan.
Tak kalah pentingnya, kehadiran keluarga lain.
"Keluarga perlu hadir secara emosional di kehidupan mereka berdua, sehingga fokus pasangan bisa terbagi. Jangan biarkan lansia merasa sendiri," tuturnya. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.