Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Corat Coret Perlawanan Dari Kolong Tol Makassar

Pernah suatu malam saya mampir dengan maksud sekedar duduk sambil mengamati sekeliling kolong tol.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Andi Yahyatullah Muzakkir Founder Anak Makassar Voice. Andi Yahyatullah Muzakkir salah satu penulis rutin Opini Tribun Timur. 
Ringkasan Berita:
  • Kolong tol di Jl Andi Pangerang Pettarani kini menjadi ruang hidup malam yang ramai oleh anak muda, penjual kopi, dan komunitas jalanan. 
  • Ragam tulisan dan lukisan di dinding penyangga tol mencerminkan kebebasan berekspresi sekaligus bentuk kritik sosial terhadap ketimpangan dan ketidakpuasan terhadap sistem yang ada.
  • Naskah menyoroti bahwa Makassar belum memenuhi syarat sebagai kota dunia karena kurangnya ruang terbuka hijau dan lemahnya perhatian pemerintah terhadap tata ruang dan lingkungan. 

Oleh: Andi Yahyatullah Muzakkir

Founder Anak Makassar Voice

TRIBUN-TIMUR.COM - Apakah benar corat coret di bawah kolong tol ini adalah simbol perlawanan?

Sepanjang jalan Andi Pangerang Pettarani Makassar menyuguhi fenomena unik, khususnya di bawah kolong tol, tampak jelas fenomena seperti kota-kota pada umumnya, dimana menjadi tempat bertemunya para anak-anak muda. 

Pernah suatu malam saya mampir dengan maksud sekedar duduk sambil mengamati sekeliling kolong tol.

Seperti biasa saya menggunakan sepeda motor lalu memarkirnya di trotoar jalan kolong tol ini.

Memang benar sepanjang jalan dipadati dengan kendaraan pengunjung kolong tol, apalagi sewaktu saya berkunjung tepat malam Minggu.

Tiba-tiba saya melihat tempat ini menjelma menjadi pasar kopi di malam harinya.

Sebab, sepanjang jalannya berjejer penjual kopi, terhitung lebih sepuluh penjual kopi yang jaraknya saling berdekatan.

Mereka menggunakan sepeda motor dari listrik yang memang lagi trend-trendnya. Penjual kopi ini menjual kopinya mulai dari harga delapan ribuan yang membuat banyak orang tertarik.

Sehingga, mayoritas dari kalangan anak muda yang hanya ingin duduk nongkrong dan bersantai sambil menyeruput kopi dengan harga terjangkau memilih kolong tol ini sebagai alternatif utama, selain tempatnya strategis juga kondisi dan suasananya yang sangat asik dan ramai. 

Sambil duduk saya menyesap aroma malam Minggu, menyeruput kopi sambil mengamati kepadatan kendaraan, kebisingan, polusi udara hingga percakapan-percakapan receh pengunjung kolong tol yang sempat terlintas.

Sesekali melintas gerombolan sepeda motor dengan suara knalpot yang besar sebagai tanda bahwa dini hari sebentar akan ada penyelenggaraan balapan liar sebagai wujud kebrutalan remaja dan anak muda kota ini.

Tentunya para pengunjung kolong tol yang mayoritas dipadati anak muda ini memiliki kepentingan dan tujuan yang masing-masing berbeda.

Diantaranya ada yang hanya sekedar singgah duduk sendiri dan menyeruput kopi, ada yang datang sepasang kekasih dengan maksud kencan di malam Minggu dengan modal yang tak seberapa, bisa menikmati malam dan menyeruput kopi yang harganya terjangkau.

Anak-anak jalanan akhirnya juga mendapat basecamp menetap tiap malamnya, anak-anak motor mendapat tempat tongkrongan, para pegiat olahraga skateboard yang mengasah skill dan keterampilannya juga memilih kolong tol ini, hingga para pedagang kaki lima telah mendapatkan pasarnya dari produk jualan mereka. 

Meski demikian, secara fundamental saya tidak melihat di kolong tol ini menjadi opsi para pegiat literasi untuk memassifkan bacaan buku, mungkin saja belum dipikirkan.

Sambil menikmati malam Minggu ini, saya mencoba mengamati detail-detail kolong tol, seketika fokus pada setiap panggung penyangga tol layang jalan Andi Pangerang Pettarani ini sudah dipenuhi corat coret tulisan dan gambar-gambar.

Ragam tulisan yang muncul dari yang biasa hingga yang ekstream. Kata-kata dan gambar liar yang menyimbolkan kebebasan dan simbol sebagai kota metropolitan.

Saya mengamati satu kata unik di panggung penyangga dengan huruf yang besar tertulis “Papua”. 

Dengan sederhana saya lalu mengartikan corat coret ini semua memiliki makna-makna yang dalam. Bisa sebagai ungkapan dan kritik akan kemuakan dari sistem pemerintahan yang sedang berjalan hari ini baik di tingkat pusat hingga daerah.

Bisa juga sebagai bentuk perlawanan hingga menjadi ruang ekspresi.

Dalam artian sebagian anak muda kota ini menginginkan ruang fisik, ruang ekspresi yang aman, dimana kita bisa merasa setara, yang bisa diakses secara bebas untuk menyalurkan ekspresi dan kegelisahan diri mereka.

Hal ini juga telah dikukuhkan oleh Marxis yang menganggap seni sebagai bagian dari perjuangan ideologis dan politik.

Bahkan Antonio Gramsci yang mengembangkan teori hegemoni juga memandang seni, lukisan, corat coret sebagai alat potensial untuk menantang struktur kekuasaan dan mitos budaya yang ada.

Akhirnya, fenomena ini dari gambar hingga corat coret di bawah kolong tol bisa dipandang sebagai sebuah simbol perlawanan. Sehingga semua elemen termasuk pemerintah setempat mesti memandang fenomena ini urgent untuk disikapi.

Dalam arti hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Sebab ruang publik dan fasilitas publik ini adalah milik semua masyarakat.

Sehingga tempat ini mesti bersih lingkungannya, agar para pengunjung yang datang bersantai bisa merasa aman dan nyaman.

Tentang Ruang Terbuka Hijau

Sebagai kota yang memiliki sejarah panjang, Makassar seharusnya banyak berbenah dan melakukan perbaikan.

Makassar sebagai Ibu kota di Provinsi Sulawesi Selatan dengan kondisi jalan yang serampangan ini sangat tampak tidak pantas.

Apalagi pernah digadang-gadang dan disebut sebagai kota dunia. Sementara standar dan kelayakan sebagai kota dunia sangat tidak memenuhi syarat.

Masalah kota ini amat kompleks antara lain kita tidak memiliki sistem arus lalu lintas yang jelas hingga akhirnya setiap harinya pasti merasakan macet.

Paparan ekstream polusi udara sebab tidak adanya sistem pengangkutan sampah, mobil angkutan sampah kadang beroperasi saat kendaraan sedang padat-padatnya, belum lagi pusat pembuangan sampah di antang mencapai ambang batas dan tidak ada alternatif lain.

Masalah-masalah mendasar yang tidak lekas selesai seperti kekerasan kelompok, perang kelompok, tingkat kriminalitas kita yang masih sangat tinggi. Hingga akhirnya tidak ada ruang terbuka hijau seperti taman kota yang representatif.

Prasyarat kota dunia mesti memiliki ruang terbuka hijau sebanyak tiga puluh persen. Sedangkan kota Makassar tidak memiliki itu.  

Sebab, banyaknya berjejer ruko-ruko bahkan tidak sedikit yang menggunakan bahu jalan sebagai tempat untuk berjualan.

Dan akhirnya kota ini perlahan menjelma menjadi kota yang sangat kapiltalistik. Artinya, Pemerintah tidak memperhatikan fenomena ini padahal ini semua adalah tanggung jawab mereka.

Hal itu terbukti dengan makin menyusutnya taman kota seperti taman Maccini Sombala hingga taman Macan, reklamasi dan pembangunan CPI makin memperparah kondisi alam dan sekeliling pantai Losari yang selama ini menjadi icon dan kebanggaan kota ini.

Dapat dikatakan tidak adanya perhatian, perawatan dan perbaikan taman-taman kota yang sudah ada.

Padahal ruang ini penting sebagai tempat belajar dan ruang ekspresi.

Fenomena corat coret di bawah kolong tol jalan Andi Pangerang Pettarani inilah contohnya, selain sebagai simbol kritik dan perlawanan.

Fenomena ini semata-mata tanda bahwa anak muda kota ini membutuhkan ruang ekspresi yang representatif dan tidak terkesan eksklusif.

Ruang ekspresi yang tidak hanya dinikmati oleh sekelompok orang melainkan semua anak muda punya akses yang sama. Ruang ekspresi ini mesti dirasakan oleh semua orang secara adil dan setara.

Sehingga dibutuhkan perhatian lebih oleh semua elemen termasuk Pemerintah dalam penciptaan ruang ekspresi ini.

Bisa saja karena tidak adanya ruang ekspresi yang representatif ini sehingga menjadi salah satu akar masalah anak muda kota ini sering melakukan tindak krimininal seperti tawuran, kekerasan hingga perang antar kelompok.

Tidak adanya ruang ekspresi seperti taman kota yang representatif ini juga menjadi tanda bahwa sebagian anak muda kota ini memilih menyalurkan kegelisahan dan kemuakan mereka melalui panggung bebas seperti penggunaan fasilitas publik dan ruang publik ini. 

Salah satunya fenomena gambar dan corat coret kolong tol di jalan Andi Pangerang Pettarani.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Konsisten

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved