Opini
Kitab Kuning, Pilar Moderasi Beragama
Santri yang serius mempelajarinya bukan hanya menghafal teks, tetapi menyerap cara berpikir yang jernih, kritis, dan penuh kebijaksanaan.
Oleh: Afifuddin Harisah
Akademisi, Anggota Dewan Hakim MQKN 2025
TRIBUN-TIMUR.COM - MUSABAQAH Qiraatil Kutub (MQK) tingkat Nasional dan Internasional yang akan digelar di Sengkang, Wajo, 1-7 Oktober 2025, sesungguhnya tidak hanya menjadi ajang lomba intelektual santri.
Ia sekaligus menjadi panggung besar untuk menegaskan bahwa literasi kitab kuning bukan sekadar tradisi, melainkan instrumen penting dalam merawat moderasi beragama.
Di tengah ancaman ekstremisme yang masih menghantui, MQK memberi pesan jelas bahwa penguasaan teks klasik mampu memperkuat daya kritis, toleransi, dan kebijaksanaan.
Menguasai kitab kuning tidak boleh dipandang sebelah mata. Ada yang menilai kitab kuning sebagai karangan “jadul” ulama tempo dulu, sehingga dianggap tidak relevan dengan zaman.
Padahal, justru dari kitab inilah lahir warisan intelektual yang memandu umat menghadapi perubahan sosial dan problem kemanusiaan sepanjang sejarah.
Santri yang serius mempelajarinya bukan hanya menghafal teks, tetapi menyerap cara berpikir yang jernih, kritis, dan penuh kebijaksanaan.
Membangun Moderasi dari Kitab Kuning
Fenomena di Pesantren dan Ma’had Aly, khususnya di Sulawesi Selatan, menunjukkan bahwa kitab kuning adalah pilar utama dalam membangun generasi yang mampu menolak radikalisme.
Di lembaga-lembaga ini, kitab dibaca tuntas, dipahami secara mendalam, dan diperdalam melalui metode sorogan, bandongan, musyawarah, hingga halaqah.
Proses ini melatih santri untuk bersikap teliti, kritis, sekaligus kontekstual. Hasilnya, lahir pemahaman yang tidak kaku, melainkan fleksibel, serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Kekuatan kitab kuning tidak hanya terletak pada penguasaan teks, tetapi juga pada etika membaca yang diwariskan ulama.
Ketika santri belajar dari berbagai pendapat ulama klasik, mereka terbiasa menerima perbedaan pandangan sebagai khazanah, bukan ancaman.
Inilah modal intelektual untuk menghadapi narasi tunggal yang sering dipaksakan kelompok radikal. Dengan demikian, pesantren berhasil menjadikan literasi sebagai sarana merawat kebinekaan.
Pembelajaran kitab kuning membentuk sikap wasathiyah (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran).
Para santri tidak hanya menguasai bahasa Arab dan ilmu alat, tetapi juga belajar memahami realitas sosial dengan perspektif yang berimbang.
Sikap ini menjadikan mereka duta moderasi yang mampu menyebarkan nilai inklusif ke tengah masyarakat. Jelas bahwa kitab kuning bukanlah warisan yang usang, melainkan jendela hidup yang terus relevan.
Salah satu aspek penting yang ditanamkan adalah pemahaman jihad. Di pesantren, jihad tidak dimaknai sebagai perang yang kaku, tetapi sebagai upaya sungguh-sungguh menciptakan kemaslahatan.
Para santri diajarkan bahwa kekerasan atas nama agama tidak sejalan dengan ajaran Islam. Dengan demikian, literasi kitab kuning berfungsi sebagai filter ideologi, memastikan bahwa pemahaman keagamaan tidak melenceng ke arah ekstremisme.
Kitab Kuning dalam Konteks Sosial Indonesia
Selain dimensi intelektual, literasi kitab kuning juga menekankan pembinaan akhlak. Nilai rahmat (kasih sayang) dan sikap inklusif ditanamkan melalui interaksi dengan kiai dan tradisi pesantren.
Hal ini memperkuat pesan bahwa literasi sejati tidak berhenti pada pemahaman teks, melainkan diwujudkan dalam perilaku sosial yang damai.
Kombinasi ilmu dan akhlak inilah yang membuat pesantren relevan dalam menghadapi tantangan global.
Konteks Indonesia yang multikultural menjadikan peran pesantren semakin vital. Di tengah arus disinformasi dan polarisasi, pesantren menghadirkan pendekatan literasi yang mampu menyeimbangkan teks dan konteks.
Kitab kuning diposisikan bukan sebagai warisan beku, tetapi sebagai inspirasi untuk membangun kehidupan berbangsa yang harmonis.
Dari sinilah lahir generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara sosial.
Tantangan memang ada: akses digital yang timpang, keterbatasan tenaga pengajar yang adaptif, hingga keterlibatan perempuan yang masih perlu diperkuat. Namun, semua itu bisa dijawab dengan inovasi kurikulum, digitalisasi kitab kuning, serta kebijakan inklusif.
Jika tantangan ini dijalankan dengan serius, maka pesantren akan semakin kuat sebagai benteng peradaban yang menolak radikalisme.
Peran media juga tidak kalah penting. Literasi kitab kuning harus dipopulerkan ke ruang publik sebagai narasi alternatif terhadap citra negatif pesantren.
Cerita tentang santri yang berdialog lintas iman, menerjemahkan kitab ke bahasa lokal, hingga menginisiasi program sosial perlu disuarakan lebih luas.
Dengan begitu, masyarakat memahami bahwa pesantren adalah pusat penyebaran moderasi, bukan tempat lahirnya ekstremisme.
Besar harapan, MQK tingkat Nasional dan Internasional di Sengkang menjadi momentum simbolis sekaligus strategis.
Ia menegaskan bahwa literasi kitab kuning bukan hanya kompetisi intelektual, tetapi fondasi peradaban yang mampu merawat kebinekaan dan mencegah radikalisme.
Jika momentum ini dijaga, pesantren dan Ma’had Aly akan terus melahirkan generasi ulama muda yang berakar pada tradisi, berpikiran moderat, dan siap menjadi jembatan peradaban di tengah dunia yang penuh gejolak.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.