Opini
Kitab Kuning, Pilar Moderasi Beragama
Santri yang serius mempelajarinya bukan hanya menghafal teks, tetapi menyerap cara berpikir yang jernih, kritis, dan penuh kebijaksanaan.
Pembelajaran kitab kuning membentuk sikap wasathiyah (moderat), tawazun (seimbang), dan tasamuh (toleran).
Para santri tidak hanya menguasai bahasa Arab dan ilmu alat, tetapi juga belajar memahami realitas sosial dengan perspektif yang berimbang.
Sikap ini menjadikan mereka duta moderasi yang mampu menyebarkan nilai inklusif ke tengah masyarakat. Jelas bahwa kitab kuning bukanlah warisan yang usang, melainkan jendela hidup yang terus relevan.
Salah satu aspek penting yang ditanamkan adalah pemahaman jihad. Di pesantren, jihad tidak dimaknai sebagai perang yang kaku, tetapi sebagai upaya sungguh-sungguh menciptakan kemaslahatan.
Para santri diajarkan bahwa kekerasan atas nama agama tidak sejalan dengan ajaran Islam. Dengan demikian, literasi kitab kuning berfungsi sebagai filter ideologi, memastikan bahwa pemahaman keagamaan tidak melenceng ke arah ekstremisme.
Kitab Kuning dalam Konteks Sosial Indonesia
Selain dimensi intelektual, literasi kitab kuning juga menekankan pembinaan akhlak. Nilai rahmat (kasih sayang) dan sikap inklusif ditanamkan melalui interaksi dengan kiai dan tradisi pesantren.
Hal ini memperkuat pesan bahwa literasi sejati tidak berhenti pada pemahaman teks, melainkan diwujudkan dalam perilaku sosial yang damai.
Kombinasi ilmu dan akhlak inilah yang membuat pesantren relevan dalam menghadapi tantangan global.
Konteks Indonesia yang multikultural menjadikan peran pesantren semakin vital. Di tengah arus disinformasi dan polarisasi, pesantren menghadirkan pendekatan literasi yang mampu menyeimbangkan teks dan konteks.
Kitab kuning diposisikan bukan sebagai warisan beku, tetapi sebagai inspirasi untuk membangun kehidupan berbangsa yang harmonis.
Dari sinilah lahir generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara sosial.
Tantangan memang ada: akses digital yang timpang, keterbatasan tenaga pengajar yang adaptif, hingga keterlibatan perempuan yang masih perlu diperkuat. Namun, semua itu bisa dijawab dengan inovasi kurikulum, digitalisasi kitab kuning, serta kebijakan inklusif.
Jika tantangan ini dijalankan dengan serius, maka pesantren akan semakin kuat sebagai benteng peradaban yang menolak radikalisme.
Peran media juga tidak kalah penting. Literasi kitab kuning harus dipopulerkan ke ruang publik sebagai narasi alternatif terhadap citra negatif pesantren.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.