Opini
Jangan Mati, Kecuali Setelah Menulis Buku
Mengapa Santri dan dosen perlu Menulis karya Buku? Jawabannya, sederhana saja, ikut serta menjaga dan mewariskan budaya para ulama
Oleh: Bachtiar Adnan Kusuma
Ketua Forum Penerima Penghargaan Tertinggi Nugra Jasadharma Pustaloka Perpustakaan Nasional
TRIBUN-TIMUR.COM - “ Jangan Mati, kecuali Anda telah menulis Buku”.
Pernyataan almarhum Prof. Dr.K.H. Ali Mustafa Yakub, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, penulis buku “Haji Penganut Setan”, penulis kutip dan ubah menjadi “ Santri dan Dosen Jangan Mati, Kecuali Telah Menulis Karya”.
Penulis sampaikan saat diundang Rektor Institut Agama Islam Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI) Mangkoso menjadi Pembicara di Kuliah Umum Tahun Akademik 2025-2026, Rabu Tgl 3 September 2025.
Dibuka langsung Pimpinan Pondok Pesantren DDI Mangkoso, Anregurutta Prof.Dr.K.H. Muhammad Faried Wadjedy, L.C.M.A. Kuliah Umum, dihadiri ratusan mahasiswa, mahasiswi baru serta para dosen berlangsung di Lantai Dua, masjid Besar Ad Dakwah Mangkoso, temanya” Membaca itu Sehat dan Menulislah untuk Dikenang”.
Dari Institut Agama Islam DDI Mangkoso, penulis melanjutkan perjalanan memberi kuliah umum dengan tajuk yang sama, namun berbeda lokasi, tepatnya di Sekolah Tinggi Agama Islam Darud Dakwah wal-Irsyad (DDI) Maros, Senin Tgl 8 September 2025 bertepatan pula dengan Peringatan Hari Literasi Internasional(hari Aksara).
Mengapa Santri dan dosen perlu Menulis karya Buku? Jawabannya, sederhana saja, ikut serta menjaga dan mewariskan budaya para ulama maupun tokoh-tokoh Islam dunia plus Indonesia yang telah menunjukkan cermin, teladan pentingnya menulis.
Misalnya saja, pelopor pertama yang mendirikan perpustakaan di dunia Islam adalah Khalid bin Yazid pada tahun 85 H atau sekitar 815 M telah menerjemahkan buku-buku kedokteran, astrologi dan kimia.
Khalid bin Yazid telah menghadirkan kelompok filsuf Yunani dan memerintahkan mereka menerjemahkan buku-buku dari Yunani, Koptik ke bahasa Arab. Dan inilah pertamakali dalam Islam dari satu bahasa ke bahasa lainnya.
Puncaknya, berdiri perpustakaan Baitul Hikmah dan dikenal para penerjemah buku di antaranya Abu Sahal al-Fadhi, Yahya bin Masawiah.
Hadirnya perpustakaan Baitul Hikmah ikut serta memengaruhi dunia literasi sekaligus hadirnya lembaga ilmiah pertama di dunia Islam.
Kita patut berterima kasih kepada Imam Al-Gazali yang telah mewariskan buku legendaris bertajuk” Ihya Ulumuddin”, karena berkah bukunya, umat Islam bisa tertib dan teratur menunaikan shalat lima kali sehari semalam.
Demikian pula Ibnu Sina, pakar ilmu kedokteran, filsafat dan astronomi yang acapkali disebut dokter filsuf karena karya bukunya “ Asy-Syifa” terdiri dari 88 volume dan 272 karya bukunya telah menjadi bukti kebesaran umat Islam terutama di bidang kedokteran.
Lain halnya, Al-Farabi, filsuf muslim, sufistik dan ahli bahasa telah menulis 70 buku, di antaranya” Al-Arjanun Ihsa Al-Ulum”.
Siapa saja ulama Indonesia yang menulis buku? Sederetan nama-nama besar ulama kesohor dan patut menjadi teladan umat Islam di Indonesia.
Misalnya saja, Prof. K.H. Ali Yafei, ketua Majelis Ulama Indonesia pada 2000-2010, tegas menyatakan membacalah, karena syariat pertama bukan shalat, tapi membaca Iqra.
Di akherat, kata Prof. K.H. Ali Yafei, perintah juga membaca “Iqra Kitabaka” bacalah, apa saja, asal jangan ambil semua. Buku karya Prof. K.H. Ali Yafei yaitu “Menggagas Fiqhi Sosial” dan “Teologi Sosial”.
Lain hal dengan Prof. Dr. K.H. Buya Hamka, selain dikenal ulama, seniman, sastrawan, ia juga menulis lebih dari 100 judul buku.
Kendatipun Buya Hamka telah wafat pada 14 Juni 1981, namun hingga hari ini masih saja tetap hidup dengan karya-karyanya tersebar di berbagai toko buku di Indonesia.
Buku “Tasauf Moderen” yang ditulis Buya Hamka pada 1937, tebalnya 397 halaman dan 13 bab, namun sampai saat ini dicetak berulang-ulang.
Buya Hamka juga menulis Novel “Tenggelamnnya Kapal Van der Wijck”, “Di Bawah Lindungan Kabah”, “Tafsir Al-Ashar” yang ditulis saat Buya Hamka di penjara, setebal 9.000 halaman dan 9 jilid.
Para ulama di Sulawesi Selatan ikut serta memperkaya literasi Indonesia, di antaranya K.H.Muhammad As’ad al-Bugisi, K.H. Abdurahman Ambo Dalle, K.H. Muhammad Abduh Pabbajah, Prof.Dr H.M. Rafii Yunus Maratan.
Prof.Dr.K.H. Nasaruddin Umar, M.A., K.H. Sanusi Baco, K.H. Muhammad Yusuf Surur, Prof.Dr.K.H. Muhammad Faried Wadjedy, M.A., Dr.K.H. Amirullah Amri, M.A. Dr.K.H.Masrur Makmur Latanro, M.Pd.I., Dr.K.H.Muh.Djumatang Rate, dan ulama lainnya.
Mengapa Santri dan dosen perlu didorong terus menerus menulis buku? Selain Indonesia belum bisa berbicara banyak untuk urusan minat baca, apalagi karya buku.
Di sisi lain, jumlah buku yang terbit belum sejurus dengan jumlah penduduk kita yang berada dikisaran 270,27 juta jiwa.
Nah, berapa jumlah buku yang beredar di Indonesia? Jumlahnya hanya berada pada posisi sekitar 22.318.000 eksemplar buku jika saja dibandingkan antara jumlah buku yang terbit dengan jumlah penduduk Indonesia tidak sejurus hanya berada diangka 0.09.
Dan angkat ini sangat kecil sekaligus menunjukkan kalau satu buku baru dibaca 90 orang.
Dari analisa ini tentu kita tidak bisa menyalahkan masyarakat Indonesia, apalagi menyebut mereka masyarakat yang malas membaca dan minus berbudaya menulis.
Boleh jadi, masyarakat mau membaca buku, namun buku-buku apa yang mau dibaca kalau buku-bukunya terbatas, apalagi tidak terjangkau.
Salah satu cara mengatasi kurangnya buku-buku bermutu, maka penulis menggerakkan Literasi Santri yang starting pointnya bermula dari Kabupaten Maros atas kerjasama dengan Fatayat NU Maros.
Gerakan Santri Menulis terus menyebarkan virus ke berbagai pondok pesantren dan kampus-kampus di Sulawesi Selatan maupun di Indonesia.
Penulis bertindak sebagai Mentor Utamanya dengan asa jika para santri dan dosen menulis buku, maka bisa jadi terapi kurangnya akses buku-buku bermutu di Indonesia. Sekadar catatan Indonesia kekurangan buku sekira 792.887.004 buku.
Merubah Mindset tentang Buku
Sekali lagi, membaca dan menulis adalah kebutuhan pokok manusia. Membaca dan menulis tak sekadar kebutuhan sekunder, melainkan kebutuhan primer dan wajib dipenuhi bagi setiap manusia.
Dengan mengutip teori kebutuhan Abrahan Maslow, menempatkan membaca sebagai kebutuhan aktualisasi diri, maka benarlah jika membaca menjadi kebutuhan primer bagi setiap manusia.
Sementara teori Cultural Studi menempatkan membaca dan menulis adalah proses kebudayaan.
Sebagai proses kebudayaan, membaca dan menulis bagian dari pembiasaan. Ujungnya melahirkan budaya membaca dan menulis.
Karena itu, penulis menegaskan kalau membaca dan menulis adalah ekosistem literasi yang wajib dibangun dari setiap keluarga, pondok pesantren, sekolah dan kampus.
Dalam keluarga, misalnya ibu dan ayah adalah motor dan lokomotif figur sentral pehobi membaca dan menulis, wajib jadi contoh bagi anak-anak.
Kita butuh ibu, dosen dan santri yang hobi membaca juga hobi menulis. Karena hanya dengan dosen dan santri suka membaca dan menulis, akan melahirkan ekosistem keluarga, pondok pesantren dan kampus yang cinta membaca buku.
Bagaimana caranya? Dalam setiap rumah tangga, kampus dan pondok pesantren, selain dibutuhkan perlunya jam-jam tertentu membaca buku dan menulis, juga diperlukan “Gerakan One Book, One Santri, One Book One Lecturer”.
Jadi, menulis bagi santri dan dosen dibutuhkan waktu minimal setiap hari 35 menit setiap hari dengan menghasilkan dua halaman tulisan.
Dalam sebulan, seseorang yang rutin menulis dua halaman, akan menghasilkan 60 halaman. Berarti untuk menulis satu judul buku baru dibutuhkan waktu tiga bulan dengan jumlah 180 halaman tulisan.
Asal saja, dibutuhkan dua hal, pertama tekad yang kuat dan kedua komitmen yang tegas. Hanya dengan tekad yang kuat, bisa menjadi pemicu sekaligus penguat membaca dan menulis. Selain dibutuhkan komitmen.
Sebab hanya dengan komitmen yang kuat, seseorang bisa menjaga dan merawat konsistensi untuk melahirkan sebuah karya buku.
Akhirnya, penulis kembali menegaskan pernyataan Prof.Dr.K.H. Ali Mustafa Yaqub,” Wala tamutunna illa wa antum Katibun, Jangan mati, Kecuali Santri dan Dosen Darud Dakwah- wal_irsyad melahikran karya Buku”.
Selamat Hari Aksara Internasional, Selamat menjalankan perkuliahan di Institut Agama Islam DDI Mangkoso dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI DDI) Kabupaten Maros.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.