Menkeu Purbaya
KPK Setuju Pernyataan Menkeu Purbaya, Kasus Jual Beli Jabatan di Bekasi Diungkit Lagi
Menkeu sebelumnya menyinggung maraknya tindak pidana korupsi yang dinilai menghambat realisasi program pemerintah.
TRIBUN-TIMUR.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepakat dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa.
Purbaya menyampaikan kasus korupsi masih jadi pekerjaan rumah (PR) utama bangsa Indonesia.
“Ya, sepakat dengan hal tersebut, karena memang korupsi sampai dengan saat ini masih menjadi salah satu PR utama bangsa Indonesia,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (23/10/2025).
Budi Prasetyo mengatakan, baik KPK maupun Kemenkeu memiliki semangat yang sama untuk mendorong perbaikan-perbaikan, termasuk tata kelola.
Ia pun mengapresiasi Purbaya yang memakai Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 dibuat lembaga antirasuah untuk mengingatkan masih banyaknya kasus tindak pidana korupsi.
“KPK tentu menyampaikan apresiasi kepada Menteri Keuangan yang menggunakan data SPI sebagai salah satu basis untuk melihat dan mengontrol anggaran-anggaran di daerah, karena memang anggaran ini menjadi salah satu fokus area KPK juga,” katanya.
Menkeu sebelumnya menyinggung maraknya tindak pidana korupsi yang dinilai menghambat realisasi program pemerintah.
Menkeu dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah 2025 pada 20 Oktober 2025, bahkan menyampaikan data SPI 2024 oleh KPK untuk memperlihatkan banyaknya pemerintah daerah masuk ke dalam zona merah atau rawan kasus korupsi.
"Data KPK juga mengingatkan kita dalam tiga tahun terakhir masih banyak kasus di daerah, yakni dari suap audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) di Sorong dan Meranti, jual beli jabatan di Bekasi, sampai proyek BUMD di Sumatera Selatan. Artinya, reformasi tata kelola ini belum selesai," kata Menkeu.
Lantas, bagaimanakan sebenarnya kasus jual beli jabatan di Bekasi?
Kasus jual beli jabatan di Bekasi
Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, membantah ada praktik jual beli jabatan di lingkungan pemerintahannya.
"Ada enggak suara di Kota Bekasi yang jual beli jabatan, sekarang lu merasakan enggak? Dengar enggak?," ujar Tri saat ditemui di Stadion Patriot Candrabhaga, Kota Bekasi, Selasa (21/10/2025).
Tri memastikan, seleksi pegawai dilingkungan Pemkot Bekasi sudah dilakukan dengan terbuka dan transparan.
Berdasarkan catatan pemberitaan Kompas.com, kasus jual beli jabatan memang benar pernah terjadi di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi.
5 Januari 2022, KPK pernah melakukan operasi tangkap tangan atau OTT kasus proyek dan jual beli jabatan, salah satu dari 12 orang yang kena OTT adalah Rahmat Effendi yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Bekasi.
Rahmat Effendi didakwa menerima Rp10 miliar dari persekongkolan pengadaan barang dan jasa.
Soal jual beli jabatan, dia juga didakwa meraup Rp 7,1 miliar dari setoran para ASN di lingkungan Pemkot Bekasi.
Pengadilan Negeri Bandung telah menjatuhkan vonis 10 tahun penjara terhadap Rahmat Effendi atau biasa disebut sebagai Pepen karena terbukti bersalah dalam suap pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi.
Rahmat Effendi dijerat dengan Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, dan Pasal 12 huruf f Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Hak politik Rahmat untuk dipilih turut dicabut selama lima tahun setelah hukuman penjara selesai dilaksanakan.
Hukuman terhadap eks Wali Kota Bekasi itu kemudian diperberat di tingkat banding menjadi 12 tahun penjara. Selain itu, majelis hakim mewajibkan Pepen membayar pidana denda senilai Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Rahmat Effendi kemudian mengajukan Peninjauan Kembali atau PK. 7 Agustus 2024, MA menolak PK yang diajukan Rahmat Effendi.
Dedi Mulyadi tantang Purbaya
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menantang Purbaya.
Tantangan terbuka imbas isu dana pemerintah daerah (Pemda) disebut-sebut mengendap di bank daerah.
Tantangan itu muncul setelah Dedi memastikan sendiri, kondisi keuangan Pemprov Jabar di Bank Pembangunan Jawa Barat dan Banten (BJB).
Ia menelusuri apakah benar Pemprov Jabar turut menyimpan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam bentuk deposito sebagaimana disinggung Purbaya.
Setelah pengecekan langsung, Dedi menegaskan, tidak ada satu pun dana APBD milik Pemprov Jabar dalam bentuk deposito di Bank BJB.
"Saya sudah cek, tidak ada yang disimpan dalam (bentuk) deposito. Saya tantang Pak Menkeu untuk membuka data dan faktanya, daerah mana yang menyimpan dana dalam bentuk deposito?" kata Dedi dengan nada tegas dalam keterangannya, Senin (20/10/2025), dikutip dari TribunJabar.id.
Menurut Dedi, pernyataan Purbaya menyebut APBD Pemda mengendap di bank berpotensi menimbulkan opini negatif terhadap pemerintah daerah.
Ia menilai, hal itu dapat menggiring persepsi publik seolah-olah seluruh daerah di Indonesia gagal mengelola keuangan secara efisien dan profesional.
Padahal, menurutnya, banyak daerah termasuk Jabar bekerja keras dan transparan dalam mengelola setiap rupiah anggaran.
"Ini adalah sebuah problem yang harus diungkap secara terbuka dan diumumkan kepada publik. Sehingga, tidak membangun opini bahwa seolah-olah daerah ini tidak memiliki kemampuan dalam melakukan pengelolaan keuangan," tutur Dedi menjelaskan.
Ia menambahkan, dampak dari opini semacam itu sangat berbahaya.
Bisa menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah yang selama ini berprestasi.
"Ini akan sangat merugikan daerah-daerah yang bekerja dengan baik. Efeknya, kalau semuanya dianggap menjadi sama, daerah yang bekerja dengan baik akan mengalami problematika pengelolaan keuangan, sehingga daerahnya terus-menerus mengalami penurunan daya dukung fiskal dan ini sangat berefek buruk bagi kinerja pembangunannya," imbuhnya.
Dedi juga mendesak Menkeu agar bersikap transparan dengan membuka data secara rinci tentang daerah mana saja menyimpan APBD di bank namun belum membelanjakannya.
"Umumkan saja daerah-daerah mana saja yang belum membelanjakan keuangannya dengan baik dan uangnya masih tersimpan dengan baik, bahkan ada yang disimpan dalam bentuk deposito," tegas Dedi lagi.
Tantangan itu bukan tanpa alasan.
Pernyataan Purbaya sebelumnya memang menyoroti kebiasaan sejumlah pemda yang lebih memilih menempatkan dana di bank pusat provinsi dibandingkan di daerahnya sendiri.
Menurut Purbaya, kebiasaan tersebut justru membuat perputaran ekonomi daerah menjadi lambat karena dana publik tidak dimanfaatkan secara optimal untuk kegiatan produktif.
"Daerah menaruhnya di bank pembangunan pusat seperti di Bank Jakarta. Itu kan daerahnya enggak ada uang jadinya. Banknya enggak bisa muterin tuh, enggak bisa meminjamkan di sana," kata Purbaya dalam konferensi pers di kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).
Ia menjelaskan bahwa seharusnya, meski dana belum digunakan untuk belanja, uang tersebut tetap dibiarkan berputar di bank daerah agar bisa disalurkan kembali kepada para pelaku usaha lokal.
"Harusnya walaupun enggak dibelanjakan, biar aja uangnya di daerah. Jadi, bank daerah bisa menyalurkan ke businessman atau pelaku usaha di kawasan itu," imbuhnya.
Dalam data yang ia paparkan, terdapat total dana pemda yang mengendap di bank mencapai Rp234 triliun, angka yang dinilainya terlalu besar untuk dibiarkan tidak produktif.
Menurut Purbaya, endapan dana tersebut menunjukkan masih adanya masalah klasik berupa lambatnya serapan anggaran oleh sejumlah pemerintah daerah di Indonesia.
"Serapan rendah mengakibatkan menambah simpanan uang Pemda yang nganggur di bank sampai Rp234 triliun. Jadi jelas, ini bukan soal uangnya tidak ada tapi soal kecepatan eksekusi," tuturnya menjelaskan.
Karena itu, ia meminta seluruh kepala daerah agar mempercepat realisasi belanja anggaran, terutama pada triwulan terakhir tahun 2025.
Purbaya tidak ingin dana publik yang seharusnya menggerakkan roda ekonomi justru menjadi beban karena tidak dimanfaatkan.
"Saya ingatkan, percepatan realisasi belanja terutama yang produktif harus ditingkatkan dalam tiga bulan terakhir tahun ini. Uang daerah jangan dibiarkan mengendap di kas atau deposito," tegasnya.
Ia menegaskan bahwa perputaran uang di tingkat daerah akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat.
"Kalau uangnya bergerak, ekonomi ikut hidup dan masyarakat langsung merasakan manfaatnya," pungkas Purbaya.
Dalam kesempatan yang sama, Purbaya memaparkan daftar pemda yang masih menyimpan dana APBD-nya di bank daerah.
Pemprov DKI Jakarta: Rp14,6 triliun
Pemprov Jawa Timur: Rp6,8 triliun
Pemkot Banjarbaru: Rp5,1 triliun
Pemprov Kalimantan Utara: Rp4,7 triliun
Pemprov Jawa Barat: Rp4,1 triliun
Pemkab Bojonegoro: Rp3,6 triliun
Pemkab Kutai Barat: Rp3,2 triliun
Pemprov Sumatera Utara: Rp3,1 triliun
Pemkab Kepulauan Talaud: Rp2,6 triliun
Pemkab Mimika: Rp2,4 triliun
Pemkab Badung: Rp2,2 triliun
Pemkab Tanah Bumbu: Rp2,1 triliun
Pemprov Bangka Belitung: Rp2,1 triliun
Pemprov Jawa Tengah: Rp1,9 triliun
Pemkab Balangan: Rp1,8 triliun
Tak Mau Naikkan Anggaran TKD
Tak hanya soal dana APBD yang mengendap di bank daerah, Purbaya Yudhi Sadewa juga menegaskan pihaknya tidak akan menambah transfer ke daerah (TKD) untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2026 mendatang.
Penolakan itu disebut Purbaya juga datang dari pimpinan di atas, sebab merasa ragu lantaran dana sering diselewengkan oleh pemda.
"Saya ingat beberapa waktu lalu ada 18 gubernur datang ke tempat saya kan, mereka menuntut transfer ke daerah dinaikkan," kata Purbaya di kantor Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).
"Sebenarnya kalau saya sih mau aja naikin, cuma pemimpin di atas masih ragu dengan kebijakan itu karena mereka bilang sering diselewengkan uang di daerah," lanjutnya.
Ia pun meminta kepada gubernur agar memperbaiki tata kelola dan penyerapan uang daerah jika ingin anggaran TKD naik.
Nantinya, kata dia, Kemenkeu akan meninjau kembali pada triwulan IV 202 dan triwulan I 2026, apakah penyelewengan sudah berkurang.
"Nanti akhir triwulan pertama menjelang triwulan kedua, saya bisa hitung berapa uang yang saya bisa tambah untuk TKD. Tapi dengan syarat tadi, tata kelolanya sudah baik," ujar Purbaya.
Dia bilang, jika tata kelola yang dijalankan gubernur sudah jauh lebih baik atau dengan kata lain penyelewengan berkurang, dia baru bisa mengajukan ke Presiden Prabowo Subianto untuk kenaikan TKD.
"Kalau jelek saya enggak bisa ajukan ke atas. Presiden kurang suka rupanya kalau itu. Tapi kalau kita punya bukti bahwa sudah bagus semua, harusnya enggak ada masalah kita naikkan," ucap Purbaya.
"Jadi, untuk membantu bapak-bapak di daerah, tolong bantu saya juga untuk mendapatkan track record seperti itu. Dua triwulan saya pikir sudah cukup, triwulan keempat tahun ini dan triwulan pertama tahun depan," tukas dia. (*)
| Ribut di Medsos Tapi Tak Pernah Temui Purbaya, Dedi Mulyadi: Tak Semudah Ketemu Pacar |
|
|---|
| Populer saat Ekonomi Rakyat Sulit, Analis Curiga Purbaya Dibekingi Buzzer |
|
|---|
| HIMPI Dukung Purbaya Larang Keras Bisnis Impor Pakaian Bekas |
|
|---|
| Menkeu Purbaya Klaim Keamanan Siber Administrasi Perpajakan Inti Paling Top, Komdigi Bakal Diajari |
|
|---|
| DPR RI Fraksi PDIP Turun Tangan saat Menkeu Purbaya dan Dedi Mulyadi Terus-terusan Bersiteru |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.