Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Headline Tribun Timur

Pendemo Gugat Polda Sulsel Rp800 Miliar

Ia menyatakan kebakaran gedung DPRD Makassar dan DPRD Sulsel menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat.

Editor: Sudirman
Ist
DEMO - Pendemo menggugat Polda Sulsel Rp800 M. Gugatan mereka terkait aksi unjuk rasa beberapa hari lalu. 

TRIBUN-TIMUR.COM - Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan (Polda Sulsel) digugat ganti rugi Rp 800 miliar buntut demo rusuh di Makassar akhir Agustus 2025.

Tuntutan disampaikan Muallim Bahar di Studio 3 Tribun Timur, Makassar, dalam program SAKSI KATA, Selasa (9/9/2025) petang.

Ia menyatakan kebakaran gedung DPRD Makassar dan DPRD Sulsel menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat.

Banyak warga mempertanyakan bagaimana insiden tersebut bisa terjadi, padahal gedung wakil rakyat itu memiliki sistem pengamanan dan berada dalam pengawasan aparat.

“Masyarakat Makassar bingung, kok kantor DPRD bisa terbakar. Kan kita ada kepolisian, ada pengamanan, tidak mungkin tidak ada data, ada intelijen,” ujarnya.

Baca juga: Polda Sulsel Tanggapi Gugatan Warga Terkait Pembakaran Gedung DPRD: Semua Punya Hak!

Ia menegaskan, kejadian ini tidak bisa dilepaskan dari pertanggungjawaban pihak-pihak terkait.

“Yang bertanggung jawab atas kejadian ini siapa? Kita mau cari kausalitasnya, karena tidak mungkin ada akibat kalau tidak ada sebabnya,” tegasnya

Ia mengatakan hingga saat ini belum ada bukti berupa gambar atau video yang menunjukkan adanya upaya pengamanan di lokasi.

“Sampai hari ini belum ada gambar atau video atau apapun beredar di media sosial menggambarkan tergugat melakukan upaya pengamanan seperti menghadirkan kendaraan water cannon, cara mengurai massa, atau langkah pencegahan sebelum terjadi pembakaran,” ungkapnya.

Gugatan diajukan Muhammad Sulhardianto Agus (29) ke Pengadilan Negeri Makassar melalui kuasa hukumnya dari Paranusa Law Firm, Muallim Bahar, Senin (8/9).

Polda Sulsel lalai mengantisipasi kerusuhan berujung massa bakar gedung DPRD Makassar, Jumat (29/8), dan gedung DPRD Sulsel, Sabtu (30/8).

Tiga orang meninggal dalam kerusuhan ini, masing-masing Staf Humas DPRD Makassar Muh Akbar Basri (26), Staf Fraksi PDIP DPRD Makassar Sarinawati (25), dan Kasi
Kesra Kecamatan Ujung Tanah Saiful Akbar (41).

“Polisi seharusnya melakukan langkah pencegahan. Fungsi intelijen lemah membuat situasi tidak terkendali,” kata Muallim.

Kerugian ditaksir Rp800 miliar ini merujuk data BPBD Makassar, mencatat kerugian hampir Rp500 miliar, ditambah usulan Pemprov ke Kementerian PUPR Rp223 miliar untuk membangun gedung baru DPRD Sulsel.

Muallim membantah alasan polisi menyebut memantau dari jauh karena massa mengincar aparat. Menurutnya, sasaran utama aksi adalah kantor DPRD, bukan markas kepolisian.

Dana gugatan Rp800 miliar tersebut, jika dikabulkan, rencananya digunakan untuk membangun lagi DPRD Makassar dan DPRD Sulsel.

Sulhardianto Agus adalah warga Jl Abdullah Daeng Sirua, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar. 

Kapolda Sulsel Irjen Pol Rusdi Hartono dikonfirmasi belum memberi keterangan.

Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol Didik Supranoto, menyatakan pihaknya menghargai langkah hukum ditempuh warga.

“Ya, kita hargai upaya-upaya itu karena semua punya hak,” ujar Didik, Senin (8/9) malam.

Namun, ia menegaskan kepolisian telah melakukan langkah maksimal dalam menangani unjuk rasa.

“Perlu saya sampaikan bahwa kepolisian sudah berusaha maksimal dan dengan penuh pertimbangan,” katanya. 

Hingga kini, Polda Sulsel telah menetapkan 32 orang sebagai tersangka pembakaran dua gedung DPRD.

“Sekarang sudah dilakukan penangkapan terhadap 32 orang dan sudah ditetapkan sebagai tersangka terkait pembakaran atau pengerusakan gedung DPRD Provinsi dan Kota Makassar,” katanya.

Terkait gugatan hukum diajukan, Polda menyatakan mengikuti proses sesuai aturan hukum berlaku. 

“Kalau memang ada upaya hukum, tentu kepolisian juga akan merespon dengan langkah-langkah hukum,” tegas Didik.

Gugatan Sah

Pakar Hukum Pidana UIN Alauddin Makassar, Rahman Syamsuddin, mengatakan gugatan warga terhadap Polda Sulsel itu wujud dan implementasi negara hukum.

“Gugatan ini mengingatkan kita pada prinsip dasar: Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945),” katanya, Selasa (9/9).

Dalam konsep Rechtsstaat, lanjut Rahman, aparat negara tidak boleh kebal dari hukum.

Bahkan, bisa dimintai pertanggungjawaban jika lalai.

“Doktrin onrechtmatige overheidsdaad atau perbuatan melawan hukum oleh penguasa sudah lama diakui dalam hukum kita,” ujarnya.

Kondisi itu juga oleh Rahman, relevan dengan Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian, mewajibkan pelakunya untuk mengganti.

“Jika benar ada kelalaian dalam pengamanan, maka gugatan ini sah secara hukum,” jelasnya.

Apalagi, lanjut dia, aturan internal kepolisian sendiri, seperti Perkap Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa.

Dan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian, menegaskan polisi wajib hadir, terukur dan bertanggungjawab dalam setiap
pengendalian unjuk rasa.

“Jika dalam kenyataannya aparat justru tidak tampak saat kerusuhan, wajar bila publik menggugat,” tegas Rahman.

Wakil Dekan I Fakultas Syariah dan Hukum UINAM ini menjelaskan, dalam teori hukum, pertanggungjawaban bisa didasarkan pada fault liability (kelalaian), bahkan
vicarious liability (tanggung jawab institusi atas bawahan).

Sementara dari perspektif filsafat politik, John Locke kata dia, mengingatkan; rakyat menyerahkan kebebasannya kepada negara demi jaminan rasa aman.

“Jika rasa aman itu gagal dijaga, kontrak sosial dianggap retak,” katanya.

Oleh karena itu, gugatan senilai Rp800 miliar di mata Rahman, bukan semata tentang ganti rugi materi.

“Ia ujian bagi akuntabilitas negara hukum: Apakah aparat benar menjalankan kewajiban konstitusionalnya, atau justru lalai hingga rakyat menanggung akibatnya,” jelasnya.

 

 

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved