Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Megaproyek Bendungan Jenelata Tersendat, Konflik Lahan 20,9 hektar Jadi Penghambat

Kendala terbesar muncul pada lahan seluas 20,9 hektare yang terdiri dari 26 bidang tanah di Desa Tanakaraeng, Kecamatan Manuju.

Penulis: Renaldi Cahyadi | Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM
KONFLIK LAHAN - Suasana RDP di Gedung DPRD Sulsel, Jl Urip Sumoharjo, Kota makassar, Selasa (25/8/2025). Pembangunan Bendungan Jenelata tersendat karena konflik lahan. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Proyek pembangunan Bendungan Jenelata di Kabupaten Gowa kembali tersendat akibat persoalan lahan. 

Dari kebutuhan lahan seluas 1.722 hektare, progres pembebasan hingga kini baru mencapai 9,7 persen atau sekitar 167 hektare.

Kendala terbesar muncul pada lahan seluas 20,9 hektare yang terdiri dari 26 bidang tanah di Desa Tanakaraeng, Kecamatan Manuju

Lahan tersebut kini diperebutkan antara warga yang mengaku telah lama menggarap dan membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dengan BUMN PTPN I Regional 8 yang juga menyatakan sebagai pemilik sah.

Sengketa ini kian krusial karena area tersebut termasuk dalam kawasan prioritas untuk konstruksi. 

Salah seorang warga, Syahruddin, mengaku dirinya menguasai lahan di sana sejak tahun 2016 dan melakukan pembayaran PBB. 

"Selama ini kita garap lahan dengan perkebunan," singkatnya, Rabu (27/8/2025).

Kuasa Hukum Warga Desa Tanah Karaeng, Heri Samsudin, menyampaikan ada 26 kepala keluarga yang tercatat menguasai lahan dengan luas total 20,9 hektare. 

Warga, kata dia, tidak menolak pembangunan Bendungan Jeknelata, tetapi meminta hak mereka dipenuhi.

“Tuntutan warga adalah ganti rugi. Mereka tidak menghalangi pemerintah karena pembangunan bendungan adalah kewajiban negara," katanya. 

"Tapi ada hak warga yang harus dipenuhi, yaitu ganti rugi atas tanah yang selama ini mereka kelola untuk bercocok tanam dan berkebun,” tambah dia.

Lebih jauh, Heri mengungkapkan benang merah persoalan ini terletak pada klaim tumpang tindih antara warga dan PTPN. 

Meski begitu, warga tidak menentukan harga ganti rugi secara sepihak.

“Masyarakat menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah untuk menaksir melalui lembaga appraisal. Informasi yang kami peroleh, harga appraisal berkisar Rp150 ribu per meter. Berapapun hasil appraisal nanti, warga siap menerima,” jelasnya.

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved