Anggota DPR RI Fraksi Nasdem 'Balas Dendam' ke KPK Imbas OTT Abdul Azis di Momen Rakernas

Editor: Ansar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

BUPATI KOTIM - Bupati Kolaka Timur Abdul Azis (kanan) bersama PIC Kemenkes untuk pembangunan RSUD di Kolaka Timur Andi Lukman Hakim (kiri), PPK proyek pembangunan RSUD di Kolaka Timur Ageng Dermanto (kedua kiri), pihak swasta Deddy Karnady (kedua kanan) dan pihak swasta Arif Rahman (tengah) mengenakan rompi tahanan usai terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu (9/8/2025) dini hari. KPK menahan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis, PIC Kemenkes untuk pembangunan RSUD di Kolaka Timur Andi Lukman Hakim, PPK proyek pembangunan RSUD di Kolaka Timur Ageng Dermanto, pihak swasta Deddy Karnady dan pihak swasta Arif Rahman terkait kasus dugaan korupsi pembangunan RSUD Kabupaten Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara dengan megamankan barang bukti sebesar Rp 200 juta dari nilai proyek sebesar Rp 126,3 miliar. Anggota DPR Rudianto Lallo kritik KPK soal OTT Bupati Koltim, cari kesalahan tidak dibenarkan, penting jaga independensi agar tidak ditunggangi kepentingan politik TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

TRIBUN-TIMUR.COM - Anggota DPR RI protes keras Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis.

Protes itu disampaikan kader Partai Nasdem dalam rapat kerja antara Komisi III DPR RI dengan KPK.

Rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (20/8/2025).

 Nasdem merupakan partai menaungi Abdul Azis.

Komplain didasarkan waktu OTT KPK bersamaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Partai Nasdem di Makassar, Sulawesi Selatan pada Kamis (7/8/2025) malam.

Penangkapan Abdul Azis berkaitan dengan kasus dugaan korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di Kolaka Timur.

Waktu tidak tepat

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni juga menyampaikan kritiknya secara terbuka dalam rapat kerja itu.

Sahroni menilai, OTT pada saat yang tidak tepa,  lantaran dalam momen Rakernas.

Terlebih, ia baru saja menggelar konferensi pers dengan media sesaat sebelum penangkapan.

Sahroni kala itu menyatakan, kader Partai Nasdem tidak terjerat OTT.

Dalam konferensi pers yang digelarnya, Abdul Azis masih duduk di sampingnya.

Lagipula seturut pemahamannya, OTT berarti tertangkap tangannya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana dilakukan.

Sedangkan Abdul Azis ditangkap di dalam kamar, sehari sebelum berlangsungnya Rakernas 8-10 Agustus 2025.

"Penegakan hukum yang bapak lakukan kita dukung 1.000 persen, Pak. Tindak pidana siapapun pelakunya sikat, Pak, tanpa pandang bulu," kata dia.

" Tapi kalau mekanisme penangkapan yang tidak bersamaan, kalau waktu yang tidak pas, sampai ada masuk ke ranah dalam ruangan kamar seseorang, (bagaimana)?" kata Sahroni dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (20/8/2025).

Sahroni lantas mempertanyakan kenapa KPK tidak menunggu waktu pas untuk OTT.

"Apakah bapak-bapak di penyidik tidak menunggu waktu luang yang pas dalam suasana yang kiranya, mungkin saya contohkan Pak (waktu yang tidak pas), kami lagi waktu rakernas, Pak," ucap Sahroni.

Dia ingin proses penegakan hukum dilakukan sesuai koridor yang berlaku sesuai aturan.

Sahroni tidak ingin KPK terlihat tidak menghargai lembaga dan pimpinan partai politik lain saat melakukan OTT.

"Walaupun dia enggak tahu katanya, tapi kita berharap, Pak, bapak punya momen waktu yang pas. Kenapa saya bilang waktu yang pas, kita semua di sini 8 partai jangan sampai lembaga Parpol yang ada di bumi ini kita enggak dihargai, Pak," imbuhnya.

Ganti istilah OTT

Di momen yang sama, Sahroni juga meminta penjelasan KPK terkait terminologi OTT.

Ia bahkan tidak segan-segan meminta KPK mengganti istilah OTT, jika penangkapan bukan pada waktu terjadinya pidana menyalahi aturan

"Tolong jelasin ke kami, Pak apakah OTT yang dimaksud apakah bersama-sama waktu yang sama, atau kalau memang orangnya sudah berpindah tempat dinamakan OTT plus? Atau sekalipun kalau memang OTT-nya tidak dalam kapasitas yang sama, mendingan namanya diganti, Pak, jangan OTT lagi," tandas Sahroni.

KPK harusnya beri peringatan

Tak hanya Sahroni, kritik juga disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR RI Rudianto Lallo yang juga kader Partai Nasdem.

Kritik disampaikan bersamaan dengan saran. Ia meminta KPK untuk memperingatkan pejabat saat mendapat bukti permulaan sebelum melakukan OTT

Menurutnya, peringatan itu perlu diberikan dalam rangka pencegahan.

"Mengapa kemudian KPK tidak 'hey, hati-hati bupati, kamu ada proyek sekian, kamu sudah ada bukti permulaan ini, ini. Ini sebelum OTT, nih. Atau bagaimana?" tanya Rudianto Lallo di rapat yang sama.

Atas penangkapan Bupati Koltim, Rudianto juga bertanya-tanya mengenai kerja-kerja pencegahan yang dilakukan KPK.

Ia tidak ingin KPK justru mencari-cari mangsa dengan sengaja mencari kesalahan seseorang.

"Kalau (penyadapan) ini dilakukan ke seluruh kepala daerah atau pejabat, akan banyak mangsa ini, Pak, akan banyak mangsa, Pak. Itu makanya selalu saya katakan, mencari-cari kesalahan itu tidak dibenarkan, Pak. Menemukan kesalahan, yes," tuturnya.

"Karena itu, bukankah berarti KPK melakukan pembiaran Pak?" imbuh dia.

Alat pukul kepentingan

Lebih lanjut, Rudianto mengingatkan, penegakan hukum jangan dijadikan alat pukul kepentingan.

Ia hanya ingin, penegakan hukum benar-benar diselidiki atas kepentingan masyarakat, dan murni kasusnya hukum.

"Kata Bung Hatta, kalau penegak hukum dijadikan alat politik maka rusaklah negeri ini. Kalau tidak bisa dicegah terjadinya tindak pidana kenapa kita tidak cegah?" terang dia.

KPK nyatakan sudah sesuai prosedur

Menanggapi hal itu, KPK menyatakan OTT Bupati Kolaka Timur sudah sesuai prosedur.

Ketua KPK Setyo Budiyanto memastikan segala sesuatu yang dilakukan lembaganya bisa dipertanggungjawabkan.

"Segala sesuatunya kami bisa pertanggungjawabkan prosesnya itu sebagaimana yang diatur yang saya sampaikan di pasal 5 (UU KPK) kami lakukan secara akutabilitas, proportional, kemudian memperhatikan kepentingan masyarakat untuk kepentingan umum," jelas Setyo.

Setyo menyampaikan, penangkapan itu dilakukan usai penyelidik menerima laporan atau pengaduan terkait peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana tersebut.

Oleh karenanya, KPK wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.

KPK kata dia, menangani tindak pidana dengan cara luar biasa (extraordinary) lantaran perbuatan ini digolongkan kepada kejahatan luar biasa (extraordinary crime).

Namun, ia memastikan, segala tindak-tanduk penanganan tetap dibatasi dengan aturan dan norma UU.

"Dengan batasan berdasarkan aturan norma undang-undang yang menjadi payung hukum yang bisa dilakukan oleh komisi pemberantasan korupsi," ucap dia.

Adapun terkait perkara Bupati Kolaka Timur, KPK sebelumnya menerima informasi dari masyarakat terkait pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kolaka Timur.

Setelahnya, informasi itu diolah dengan berbagai sumber terlebih dahulu hingga terbit surat perintah yang ditandatangani pimpinan.

KPK kemudian melakukan penyadapan hingga pengamanan ke lapangan. OTT pun tidak hanya dilakukan di satu tempat, melainkan ke beberapa tempat seperti Jakarta dan Kendari.

Setelah mendapatkan informasi dari sejumlah pihak yang ditangkap dari dua daerah itu, KPK mendapatkan informasi bahwa uang korupsi mengalir kepada pejabat dan kepala daerah, dalam hal ini Bupati Kolaka Timur.

"Waktu itu posisinya yang bersangkutan, tim menganggap bahwa ada di lokasi tersebut atau masih di sekitar pulau tersebut atau di provinsi tersebut, tapi ternyata yang bersangkutan sudah meninggalkan tempat dan sudah berada di tempat lain," jelas Setyo.

"Jadi posisinya kami lakukan pengembangan tindakan penyelidikan dengan melakukan pengejaran ke tempat tersebut," bebernya.

OTT bukan istilah KPK
Terkait penggantian terminologi OTT, Setyo mengeklaim singkatan itu bukan istilah yang biasa digunakan KPK.

Istilah itu justru muncul dari masyarakat, ketika mengetahui KPK melakukan tangkap tangan.

"Jadi terminologi OTT ini sebenarnya kami tidak pernah menyampaikan pimpinan, ini adalah terminologi yang mungkin menjadi sebuah kebiasaan, budaya atau masyarakat menganggap ini adalah sebuah istilah, OTT operasi tertangkap tangan," tuturnya.

Baca juga: Sahroni Minta KPK Ganti Istilah OTT Usai Kader Nasdem Diciduk

Setyo bilang, KPK memilih istilah lain dalam operasi.

KPK hanya menyebut aktivitas penangkapan itu dengan sebutan tindakan penyelidikan.

Hal ini kata dia, diatur dalam Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang (UU) KPK yang berbunyi "Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi".

"Kami dari KPK sendiri mensikapi atau menyebut sebenarnya adalah dengan sebutan tindakan penyelidikan, sebagaimana diatur dalam pasal 102 ayat 1 dan ayat 2," ungkap Setyo. (*)

Berita Terkini