Demo Tarif PBB-P2 di Pati Merembet ke Bone dan Jeneponto, Pengamat: Alarm Kepala Daerah

Penulis: Kaswadi Anwar
Editor: Alfian
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PAJAK NAIK - Mahasiswa di Kabupaten Bone unjuk rasa di depan Kantor Bupati Bone, Jl Ahmad Yani, Kecamatam Tanete Riattang Barat, Kabupaten Bone, Kamis (14/8/2025). Mahasiswa protes kenaikan PBB-P2.

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Demo besar warga Kabupaten Pati, Jawa Tengah mulai merembet ke Sulawesi Selatan (Sulsel).

Warga Pati unjuk rasa menolak kebijakan Bupati Pati Sudemo yang menaikkan pajak tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen.

Isu serupa menggelinding di dua daerah di Sulsel, yakni Kabupaten Bone dan Kabupaten Jeneponto.

Kabupaten Bone Kabupaten Bone berjarak 170 kilometer (Km) di sebelah timur Kota Makassar, Ibu Kota Provinsi Sulsel.

Banyak tokoh nasional lahir di Bumi Arung Palakka.

Di antaranya Wakil Presiden RI ke-10 dan 12 Jusuf Kalla, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, mantan Panglima ABRI Jenderal M Jusuf.

Sedangkan Jeneponto berada di selatan Kota Makassar. Jaraknya 81,6 kilometer.

Gelombang protes atas kenaikan PBB-P2 di dua kabupaten ini kian panas.

Informasi beredar, kenaikan PBB-P2 mencapai 300 persen di Kabupaten Bone.

Makanya, dua hari terakhir mahasiswa berunjuk rasa menentang kebijakan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bone.

Sedangkan di Jeneponto, kenaikan PBB-P2 naik tiga tahun terakhir walau persentasenya tak terlalu tinggi.

Pada 2023 naik 0,01 persen, 2024 naik 0,02 persen, sekarang di angka 0,03 persen.

Baca juga: Bapenda Gowa Jamin Tak Ada Kenaikan Tarif PBB-P2 2025, Warga: Tahun 2024 Naik

Baca juga: Target Pajak Bumi dan Bangunan Bone Naik dari Rp29 Miliar Jadi Rp50 Miliar, Tuai Demo Masyarakat!

Namun, warga hingga anggota DPRD Jeneponto sudah bersuara sampaikan protes.

Pengamat Politik Andi Luhur Prianto melihat peristiwa Pati menunjukkan betapa rentannya demokrasi yang dibangun pasca reformasi.

Secara seremonial dan prosedural demokrasi elektoral sukses menjadi alat melegitimasi kekuasaan berbasis kapital.

Pemimpin-pemimpin nasional dan daerah yang terpilih sebenarnya bukan dipilih karena basis kesadaran ideologis.

“Lebih karena faktor pragmatisme transaksional yang didukung mobilisasi sumber daya kekuasaan,” ungkapnya saat dihubungi Tribun-Timur.com, Kamis (14/8/2025).

Kejadian di Pati kini bertransformasi dari gerakan sosial menjadi gerakan parlementer.

DPRD Pati menggunakan hak angketnya. Bukan tak mungkin Bupati Pati Sudewo bisa lengser dari jabatannya.

Menurut Luhur, apa yang terjadi di Pati menjadi peringatan dini bagi seluruh pemimpin daerah dan nasional.

Termasuk kepala daerah Bone Andi Asman Sulaiman-Andi Akmal Pasluddin dan kepala daerah Jeneponto Paris Yasir-Islam Iskandar.

“Atensi khusus untuk kepala daerah di Bone dan di Jeneponto, hendaklah segera  meninjau ulang kebijakan populis yang tidak pro-rakyat,” tutur Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah (FISIP Unismuh) Makassar ini.

Tak hanya itu, Luhur menyarankan kepala daerah di dua kabupaten itu membangun komunikasi politik yang akomodatif.

“Tidak menantang dan membangun “tembok komunikasi” dengan protes publik dengan mengandalkan represi aparat,” imbaunya.

Dihubungi terpisah, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik Rizal Fauzi melihat ada fenomena menarik dari kepala daerah mengenai kebijakan kenaikan tarif pajak.

Baca juga: Trik Danny Pomanto Naikkan Tarif PBB Tanpa Gejolak Saat Jabat Wali Kota Makassar: Gratiskan Sebagian

Ia menyebut, pemerintah setiap mengambil kebijakan perlu mengomunikasikan dengan stakeholder di daerah, seperti DPRD, pengusaha, masyarakat dan aktor lainnya.

 “Jadi kebijakan publik itu tidak serta merta dilakukan, tapi harus dibahas secara bersama-sama melibatkan semua pihak,” sebutnya.

Dia menjelaskan, dalam mengambil kebijakan ada berbagai tahapan dilalui. Ada agenda setting, formulasi, implementasi dan evaluasi.

“Jadi alarm besar kepala daerah. Kebijakan publik itu tak boleh diambil secara semena-mena. Ada mekanismenya dan melibatkan publik,” jelasnya.

“Kalau tidak demikian kemarahan masyarakat akan muncul,” tambah dosen FISIP Universitas Hasanuddin (Unhas) ini.

Rizal Fauzi memandang masalah kepala daerah terpilih 2024 lalu adalah enggan memberikan penjelasan ke publik.

Harusnya kepala daerah tak menjadikan media sosial sekadar membangun pencitraan, tapi lebih mempublikasikan kebijakan dikeluarkan.

“Perlu dikomunikasikan ke publik dan jangan sembuyi-sembunyi,” tutupnya. (*)

 

 

 

 

Berita Terkini