TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, media sosial diramaikan tren bendera hitam.
Pengibaran bendera bajak laut dari anime One Piece di berbagai tempat.
Simbol Straw Hat Pirates, dikenal lambang kru fiksi pimpinan Monkey D Luffy, berkibar di tiang-tiang rumah, kendaraan, hingga tongkrongan anak muda.
Fenomena ini menimbulkan pro dan kontra.
Pemerhati kebijakan publik dan penggiat media sosial, Andi Januar Jaury Dharwis merespons fenomena ini.
Politisi Partai Demokrat itu menilai pengibaran bendera One Piece tidak bisa serta-merta dipandang sebagai bentuk pengkhianatan nasionalisme atau pelecehan simbol negara.
Ia justru mengajak publik untuk melihatnya secara lebih jernih dan proporsional.
"Sebagai bagian dari masyarakat yang memperhatikan dinamika sosial di era digital, saya melihat pentingnya untuk memotret fenomena ini secara jernih," ujar Andi Januar, Minggu (2/8/2025).
"Ini bukan soal penggantian simbol negara, tapi lebih pada ekspresi budaya anak muda hari ini,”
Andi Januar menegaskan, bendera Merah Putih sebagai simbol negara tetap harus mendapatkan penghormatan tertinggi.
Khususnya dalam momen-momen kenegaraan seperti peringatan Hari Kemerdekaan.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 telah secara tegas mengatur posisi dan penggunaan bendera nasional.
"Jadi UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara dengan tegas mengatur posisi dan penggunaan Bendera Merah Putih sebagai simbol kedaulatan," katanya.
"Maka, dalam konteks perayaan kenegaraan seperti HUT RI, tentu patut dijaga agar bendera Merah Putih mendapatkan posisi yang utama dan terhormat," ungkap Andi Januar.
Namun dalam dinamika masyarakat kian terbuka, ekspresi budaya populer pun ikut meramaikan ruang sosial.
Bendera bajak laut ala One Piece edang viral itu bukan simbol politik, bukan propaganda anti-negara.
Namun melainkan bagian dari budaya hiburan yang digemari anak muda.
Perlu ditegaskan adalah pembedaan ruang dan waktu.
Ekspresi budaya sah-sah saja, tetapi tidak boleh menggantikan atau mengganggu simbol resmi negara.
Utamanya dalam momentum-momentum yang bersifat kenegaraan.
"Fenomena ini juga memberi kita cermin. Bahwa bagi sebagian generasi muda, ada kebutuhan untuk merayakan kemerdekaan dengan cara mereka pahami dan rasakan dekat," tegas Andi Januar.
Lebih jauh, karakter Luffy dan kru bajak lautnya dalam One Piece melambangkan perjuangan, kebebasan, dan solidaritas.
Nilai-nilai ini dinilai tidak jauh berbeda dengan semangat para pejuang kemerdekaan bangsa.
Namun tentu saja, membandingkan One Piece dengan sejarah perjuangan RI adalah hal tidak tepat secara historis.
"Maka, tugas kita bukan melawan simbol fiksi, tapi membangun kembali narasi kebangsaan yang relevan dengan imajinasi generasi hari ini," bebernya.
"Apakah pengibaran bendera bajak laut ini masalah? Saya lebih memilih menyebutnya sebagai sinyal sosial," tambahnya.
Andi Januar menegaskan, fenomena ini bukan tanda kemerosotan nasionalisme.
Sebaliknya, ini adalah panggilan agar negara, pendidikan, dan masyarakat mulai lebih serius membumikan makna-makna simbolik kebangsaan dalam bahasa dimengerti generasi baru.
Terlebih, anak muda saat ini dinilai hidup di tengah dunia terhubung secara digital, dengan simbol-simbol yang bersifat global.
Maka, sangat masuk akal jika mereka membangun relasi emosional dengan tokoh-tokoh fiksi.
Perlu dijaga adalah bagaimana relasi itu tidak menyingkirkan identitas kebangsaan.
Alih-alih menghakimi atau memperkeras dikotomi antara nasionalis dan penggemar pop culture, warga negara justru bisa menggunakan momen ini.
Pertama, untuk menguatkan kembali literasi simbol negara di kalangan pelajar dan anak muda.
Kedua, mendorong ruang ekspresi kreatif yang tetap menghormati aturan negara.
Ketiga, mengemas nilai-nilai kebangsaan dengan pendekatan budaya populer, agar lebih mengena.
Contohnya, kata Andi Januar, bisa dengan mengibarkan Merah Putih berlatar mural bertema One Piece, atau menggelar lomba kemerdekaan bernuansa anime.
Olehnya, hal itu bukan merendahkan semangat nasional, melainkan cara menyapa generasi muda dengan bahasa yang mereka pahami.
Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dianggap momen sakral.
Tapi kesakralan itu akan semakin kuat bila tidak hanya dijaga secara fisik, tetapi juga dipahami secara emosional dan kultural oleh masyarakatnya.
"Jika hari ini sebagian anak muda lebih tertarik membeli bendera anime daripada Merah Putih, mungkin yang perlu kita lakukan bukan hanya melarang, tapi mengembalikan rasa keterhubungan mereka terhadap merah dan putih itu sendiri," tandasnya.
Ia menambahkan, masyarakat perlu menjaga simbol negara dengan penuh hormat.
Tapi juga harus membuka ruang dialog, agar setiap generasi merasa memiliki makna dalam merayakan kemerdekaannya tanpa harus menanggalkan imajinasi mereka cintai.
Bukan tindak pidana
Pengamat Hukum Pidana UIN Alauddin Makassar, Dr Rahman Syamsuddin menilai, menyandingkan bendera Merah Putih dengan bendera One Piece bukan tindakan pidana.
Menurutnya, logo One Piece tidak merusak keutuhan bendera Merah Putih.
“Sebenarnya gambar One Piece itu saya lihat tidak masuk ji di dalam Merah Putih. Kedua, One Piece ini cerita bajak laut dan berangkat dari film kartun,” jelasnya saat dikonfirmasi.
Ia menegaskan, hal itu bukan bentuk makar seperti pengibaran bendera Bintang Kejora kelompok separatis Papua.
Ia menegaskan, hal itu bukan bentuk makar seperti pengibaran bendera Bintang Kejora kelompok separatis Papua.
Bendera Jolly Roger, kata dia, hanya bentuk ekspresi atas sosok One Piece.
“Kecuali bendera Papua merdeka, itu jelas. Mereka menganggap bendera itu simbol negara,” tegasnya.
Ketua Prodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah UIN Alauddin ini juga menilai, ekspresi menyandingkan bendera One Piece dengan Merah Putih bukanlah tindak pidana.
Sebab, bendera One Piece tidak merusak atau mengubah bentuk asli Merah Putih.
“Kalau bicara KUHP, tidak ada yang dilanggar. One Piece ini tidak menyinggung bendera Merah Putih,” jelasnya.
Meski begitu, secara etis, ia menganggap tindakan itu kurang pantas, apalagi di momen peringatan kemerdekaan RI yang sakral.
Ia pun tidak mempersoalkan jika ada aparat memberi teguran atas dasar nilai-nilai etika.
“Mungkin secara etis kurang patut, tapi secara pidana tidak ada pelanggaran,” ucapnya.
Dr Rahman meminta pemerintah tidak bereaksi berlebihan terhadap fenomena ini.
Ia menilai masih banyak persoalan lebih penting yang perlu segera ditangani.
“Banyak masalah negara yang harus diselesaikan. Fenomena ini saya tangkap sebagai ekspresi warga yang ingin perubahan,” tambahnya.
Direktur LBH Makassar, Abdul Aziz Dumpa, menilai pemidanaan pengibar bendera Jolly Roger One Piece adalah bentuk anti kritik.
Menurutnya, bendera itu hanya bentuk ekspresi damai dilindungi konstitusi.
“Itu ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap tata kelola negara yang tak berpihak pada rakyat, tapi justru menguntungkan elit dan oligarki,” ujar Azis Dumpa.
Ia juga menegaskan, pengibaran bendera One Piece bersama Merah Putih bukan tindakan makar.
“Intinya bukan makar, tapi simbol kritik masyarakat atas otoritarianisme dan ketidakadilan terus terjadi,” jelasnya.
“Intinya bukan makar, tapi simbol kritik masyarakat atas otoritarianisme dan ketidakadilan terus terjadi,” jelasnya.
“Silakan masyarakat mengibarkan Jolly Roger lebih rendah dari Merah Putih, sebagai simbol cinta Tanah Air, sekaligus bentuk kritik terhadap pemerintahan yang otoriter dan tidak adil,” kata dia. (*)