TRIBUN‑TIMUR.COM, MAKASSAR – Lorong Wisata Makassar pernah menjadi simbol kebangkitan dan inovasi kota, mengubah lorong-lorong sempit menjadi ruang hidup penuh warna dan peluang ekonomi.
Namun, dengan diterbitkannya regulasi baru terkait penilaian kinerja RT/RW, ikon ini mulai meredup dan posisinya digantikan program urban farming serta indikator baru, menandai perubahan arah kebijakan pemerintah kota era Munafri Arifuddin-Aliyah Mustika Ilham.
Berawal dari pandemi meruntuhkan sendi ekonomi kota, sebuah ide segar muncul dari Wali Kota Makassar, Danny Pomanto.
Ia mengubah lorong sebagai jantung komunitas, bukan jalur semata.
Dimulai pada November 2021, Lorong Wisata Makassar membuka babak baru lebih dari sekadar indah secara visual, tapi memelihara ekonomi mikro, pendidikan, teknologi, dan solidaritas sosial.
Lorong Wisata diluncurkan di 14 kecamatan, mencakup 1.095 lorong, dengan alokasi Rp1,4 miliar dari APBD dan dukungan dana CSR.
Idenya cukup sederhana, mengubah lorong sempit jadi ruang ekonomi dan sosial, lengkap dengan taman kecil, UMKM kuliner, bank sampah, dan ruang baca anak.
Lokasi-lokasi seperti Lorong Sydney di tepi Sungai Tello pun langsung jadi magnet dengan cafe terapung, kebun komunitas, dan jalur perahu wisata.
Lorong Wisata disusun sebagai gerbang untuk 24 program strategis Pemkot.
Mulai dari Revolusi Pendidikan, Seribu Beasiswa Anak Lorong, hingga pemberdayaan lewat Batalyon 120 yaitu organisasi masyarakat (ormas) bagi mantan pelaku tawuran menjadi petugas keamanan lorong, parkir, dan pemadam kecil.
Dampak Ekonomi dan Ketahanan Pangan
Hasilnya signifikan: pertumbuhan ekonomi Makassar meningkat dari 4,47 persen (2021) menjadi 5,40 persen (2022), sementara inflasi turun dari 5,99 persen menjadi 5,72 persen per Februari 2023.
Stabilitas pangan dipicu kebun lorong yang menyuplai cabai dan sayuran lokal.
Warga memanen dan menjual hasil lorong, mengurangi ketergantungan impor pangan rutin.
Selain estetika, Lorong Wisata mendemonstrasikan teknologi.