Lipsus Kekerasan Seksual

Ujian di Atas Kasur

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

MAHASISWA KETAKUTAN- Ilustrasi by AI, seorang mahasiswa ketakutan di atas kasus dibuat, Sabtu (14/6/2025). Korban mahasiswa UNM, diduga jadi korban pelecehan seksual, melaporkan dosennya ke Polda Sulsel.

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- “Buka bajumu. Kamu keringatan dan bau.”

Kalimat itu terdengar pelan, tapi tajam. 

Diminta seorang dosen laki-laki KH kepada mahasiswa laki-laki AD (20).

Bukan meminta lebih tepatnya menyuruh mahasiswa yang saat itu berkunjung ke rumahnya untuk keperluan ujian lisan. 

KH adalah dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Makassar (UNM) diduga melecehkan mahasiswanya AD. 

"Pasti ada yang bertanya-tanya mengapa saya mau ujian lisan di rumah dosen. Pasti. Saya juga bingung, lebih ke takut kalau nilai saya tidak keluar," ujar AD saat ditemui di Zero Cafe, Parangtambung, Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Jumat, (11/4/2025) pukul 09.00 Wita. 

Sejak awal semuanya terasa ganjil. Dan semua terpaksa dilakukan AD. Mulai dari mengiyakan ujian di rumah, menginap, sampai akhirnya diancam untuk menanggalkan pakaian. 

Malam ‘jahanam’ itu terjadi pada Kamis, 30 Mei 2024 di rumah yang terletak di Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. 

AD ingat jam hampir menunjukkan pukul delapan ketika itu. Angin malam bertiup lembab, tapi yang membuat AD berkeringat bukanlah cuaca. 

Ia duduk di dalam sebuah kamar sempit berukuran sekitar tiga kali tiga meter. Ruang itu terasa pengap, minim ventilasi. Isinya hanya sebuah ranjang dan lemari. Lampu kamar tak dinyalakan. 

Cahaya satu-satunya datang dari ruang tengah, menyelinap lewat celah pintu sedikit terbuka. Pencahayaan samar itu membuat sudut-sudut kamar tampak suram. 

Senyap. hanya suara dosen itu terdengar. 

KH memaksa AD terus-menerus untuk melepas bajunya. 

“Saya disuruh lepas baju. Dia terus mencari-cari alasan supaya saya tidak bisa menolak,” kata AD. Suaranya berat, seperti menyimpan amarah yang lama ditahan. 

“Begitu saya mulai melawan, dia menangkis. Saya ingin pulang, tapi dilarang.” AD tak pernah menyangka kunjungannya malam itu berubah menjadi pengalaman yang menghantuinya hingga kini. 

Ia datang ke rumah dosen itu bukan tanpa alasan. Pagi harinya, sang dosen menjanjikan akan memberinya kesempatan ujian lisan ulang. “Datang saja malam,” kata dosen setelah perkuliahan selesai seperti ditirukan AD. 

Walau hati kecilnya ragu saat itu, AD memutuskan untuk menyambangi rumah dosennya. Sendiri. 

"Sebab saya butuh nilai untuk lulus." Ketika tiba di rumah sang dosen, gerbang dan pintu terbuka lebar. Seolah-olah ia memang sudah ditunggu. 

Dosen itu berdiri di depan pintu, menyambutnya dengan senyum dan segera memintanya masuk. Begitu AD melangkah ke dalam, pagar ditutup, pintu dikunci. 

Hatinya mencelos. Tapi ia tak punya pilihan. Ia melangkah perlahan melewati ruang tengah sederhana. 

Di sebelah kanan pintu masuk ada televisi tak terlalu besar menempel di dinding, rak buku di depannya, dan meja serta kursi kerja di sisi lain. Tidak ada karpet, tidak ada sofa. 

Hanya selembar sarung terbentang di lantai. Dosen itu duduk di atasnya, hanya mengenakan celana pendek, lalu berkata, “Pijat dulu.” Ucapan itu membuat AD tertegun. Seketika dadanya terasa sesak. 

Ada kegelisahan merayap diam-diam, tapi tak sanggup ia tolak permintaan itu.

Tubuhnya terpaku, pikirannya kacau.

Beberapa saat kemudian, dosen itu berdiri dan berjalan masuk ke kamar mandi. 

AD hanya bisa duduk mematung.

Tak lama, ia keluar lagi lalu menyuruh AD masuk ke sebuah kamar. 

Kamar itu tampak rapi, namun asing dan kaku. Di sebelahnya, terdapat satu kamar lain, pintunya tertutup rapat. 

AD melangkah masuk dengan langkah berat. Matanya sekilas menyapu ruangan, tapi pikirannya tak ada di sana. Perasaan tak menentu. Antara cemas, takut, dan bingung. 

Kepala AD penuh dengan kemungkinan, tapi tubuhnya tetap melangkah mengikuti perintah si dosen. Di dalam, AD kembali bertanya, “Kapan ujian lisannya dimulai?” Tapi sang dosen hanya menjawab sambil tersenyum tipis, “Di kamar, sambil pijat.” Jawaban itu membuat langkah AD kian berat. 

Di kepalanya, ujian seharusnya berlangsung secara akademik, kini justru diliputi tanda tanya dan perasaan tidak nyaman yang tak bisa ia jelaskan. 

Di dalam kamar, dosen itu telah berbaring di atas dipan, tubuhnya tampak bersiap untuk dipijat. Ia menunjuk posisi di sampingnya, meminta AD mendekat. 

Dengan ragu, AD menurut. Ia mulai memijat pelan bagian kepala, lalu perlahan turun ke dada, lengan, kaki hingga titik-titik yang membuat jantungnya berdegup tak beraturan. 

Tangan AD gemetar. Di antara tekanan di ujung jari, pikirannya penuh tanya.

“Saya bingung itu situasi apa. Di satu sisi, saya sadar ada yang tidak wajar dari permintaannya. 

Tapi bagaimana dengan ujianku, bagaimana nilaiku?” AD menutup mata lalu menunduk mengingat kembali malam itu. Ia tetap bertahan. Mungkin, setelah ini, ujian lisan akan dimulai. Tapi harapannya kembali terombang-ambing ketika sang dosen justru menunda. Waktu bergulir. 

Malam kian larut. Tak ada tanda-tanda ujian berlangsung di atas tempat tidur itu. AD bertanya lagi. 

Namun jawaban yang ia terima hanyalah, “Saya mengantuk. Istirahat dulu, ya.” AD terdiam. 

Ia tetap duduk, menunggu dengan perasaan was-was, tak tahu harus pulang atau bertahan di tengah ketidakpastian yang membuatnya merasa asing, bahkan pada dirinya sendiri. 

AD nyaris tak percaya ketika dosen itu tiba-tiba bangkit, lalu meminta dirinya berbaring di samping di atas dipan yang sama. 

“Alasannya, “untuk melanjutkan ujian lisan”. Belum sempat memahami maksud permintaan itu, AD merasakan pelukan.

Tangan sang dosen pun mulai meraba. Ia tercekat. Ada rasa risih yang tak bisa lagi ditahan. Nalarnya menolak, tubuhnya menegang. 

AD langsung melawan dan memaksa diri untuk pergi.

“Saya risih, melawan, dan memaksa pulang. Dia bilang tidak apa-apa, tapi saya tetap mau pulang,” kata AD, mengenang malam itu. 

Dengan perasaan berkecamuk, ia bangkit, keluar dari kamar yang mendadak begitu asing. Dosen itu mengekor di belakang, lalu tiba-tiba menyodorkan selembar uang Rp50.000 “uang jajan,” katanya ringan. 

AD hanya menatap sekilas. Melangkah keluar rumah, dan melihat jam di ponselnya. Waktu menunjukkan pukul 00.20 Wita. Malam semakin dalam saat ia meninggalkan rumah itu, membawa pulang tubuh lelah, dan jiwa yang tak lagi utuh seperti semula. 

Sebenarnya, itu bukan kali pertama AD datang ke rumah dosennya. Empat hari sebelumnya, tepatnya 26 Mei 2024, ia sudah pernah berkunjung. 

Saat itu, kunjungannya murni karena ingin meminjam buku dan berdiskusi soal kuliah. AD masih ingat betul, ia sempat masuk ke kamar tamu. 

Itu kunjungan perdananya. Namun, tanpa banyak basa-basi, dosen itu langsung meminta AD memijat. Permintaan yang awalnya terdengar biasa saja. 

“Hanya pijat kan, apa yang salah. Justru senang bisa akrab dengan dosen, bisa dekat. Ke depannya urusan perkuliahan pasti bisa dibantu,” kata AD, mengingat perasaannya kala itu. Namun, kenyataannya tak seperti yang ia bayangkan. 

Kedekatan yang awalnya dianggap sebagai peluang akademik, justru berubah menjadi tekanan. Ketika AD mulai menolak permintaan-permintaan yang tak wajar, situasi memburuk. 

Nilainya tiba-tiba bermasalah. Di sistem akademik, ia hanya menemukan satu kata ‘Error’. Nilai itu seperti dihancurkan. AD frustasi. 

Belum lagi, ia harus menghadapi ancaman-ancaman dilontarkan dosen, membuatnya semakin tak nyaman. 

Setiap langkah seolah dalam tekanan, bukan lagi bimbingan. Kejadian serupa kembali terjadi pada 18 Oktober 2024, lalu berulang lagi 7 November 2024 dengan pola yang sama. 

AD muak, tetapi takut nilainya jadi taruhan. Dosen itu seolah tak mau berhenti. Pada 20 November 2024, ia kembali menghubungi AD dan meminta datang ke rumah untuk memijat. 

AD menolak karena cuaca buruk, tapi dosen bersikap memaksa dan bernada mengancam. Dengan terpaksa, AD tetap datang pukul 23.00 WITA. 

Ia tiba dalam kondisi basah kuyup dan perasaan berat. Seperti sebelumnya, dosen kembali mengulang perlakuan yang sama. Permintaan disampaikan tanpa rasa bersalah, seolah tubuh AD bisa diminta kapan saja. 

Selama dipijat, dosen mulai membicarakan hal berbau cabul. AD makin risih. Situasi makin janggal saat dosen meminta AD membuka kunci ponselnya. 

AD menolak, tapi dosen justru mengancam akan memberinya nilai jelek. AD panik. Napasnya sesak, pikirannya kacau. Ia merasa tertekan dan tak berdaya. 

Tak sanggup bicara, air matanya mengalir begitu saja. Di tengah kekalutan itu, dosennya malah memeluk AD. Katanya, untuk memberi motivasi. Tapi bagi AD, pelukan itu justru menambah rasa takut. Tak hanya memeluk, dosen itu juga mencoba meraba tubuh AD dan menyentuh bagian pribadinya. AD menepis tangan pelaku yang terus menjamahnya. 

Rasa takut berubah jadi marah. Ia berdiri dan menolak terus disentuh, tak peduli lagi soal ancaman atau nilai. Dosen itu akhirnya mundur. Ia lalu membujuk AD untuk tidur di kamar tamu, sementara dirinya masuk ke kamar pribadi. 

AD hanya diam. Ia terpaksa tetap di kamar itu, resah dan tak bisa tidur. Malam terasa sangat panjang. Ia terus menunggu hingga azan subuh terdengar. 

Suasana kedai siang itu seolah ikut larut dalam cerita cerita AD. Interiornya tenang, lampu gantung temaram, barista sibuk di balik meja, musik akustik mengalun pelan dari speaker. Sudah hampir tiga jam AD bercerita. Tentang luka. 

Tentang ruang belajar yang berubah menjadi tekanan. Tentang seorang dosen dulu memberi pujian, lalu merenggut rasa aman. 

Sesekali ia terdiam, menunduk lama, menyeka mata dengan punggung tangan. Tangis tak tumpah sepenuhnya, tapi cukup menggambarkan beratnya beban. 

Dari toa masjid, salawat terdengar, tanda salat Jumat segera tiba. "Kenapa harus saya?" ucap AD pelan. Suaranya nyaris hilang tertelan keramaian. Tapi setiap katanya terasa berat. 

"Dia dosen. Kalau mengajar, dia baik. Saya tidak menyangka akan seperti ini," lanjut AD. Ia menarik napas panjang. "Relasi kuasa itu nyata." Ia tahu ada risiko, tapi semua datang perlahan. 

Dalam bentuk perhatian, bimbingan, dan nasihat akademik. Lapor Polisi, Malah Disudutkan AD tak lupa titik terendah yang pernah ia alami. 

“Saya hampir datang ke rumahnya bawa pisau. Tapi saya telepon teman dan ditenangkan. Gemetar. Stres,” kenangnya. 

Sejak memutuskan bicara pada Januari 2025, dukungan mulai berdatangan. Senior kampus, alumni, dan BEM FIS-H UNM mendampingi AD melapor ke LBH Makassar hingga Polda Sulsel. Pada 29 Januari 2025, AD resmi melapor ke polisi. 

Namun, usai laporan itu mencuat, ia justru dihujat di media sosial dan dituduh mencemarkan nama baik. “Yang paling menyakitkan itu saat saya harus memendam semua sendirian,” ucapnya. 

Pelaku sempat menawarkan damai lewat orang lain, tapi AD tegas menolak. “Dia harus diproses hukum. Ini bukan cuma tentang saya. Banyak yang diam karena takut.” 

Di balik keberaniannya, AD menyimpan perjuangan panjang. Ia pernah bekerja jadi buruh bangunan, buruh bawang, dan serabutan demi kuliah. “Saya tidak masuk kampus lewat jalan mudah. Saya kerja keras. 

Makanya saya tidak bisa diam,” katanya. AD memilih melawan demi keadilan dan dunia pendidikan yang lebih aman.“Saya tahu ada korban lain yang memilih diam. Tapi saya tidak bisa begitu. Ini soal harga diri.” 

Ia yakin keberaniannya bisa jadi jalan bagi korban lain. “Kalau saya diam, siapa yang tahu?” tegasnya. “Kasus ini harus selesai. 

Dia harus dipenjara, dipecat. Dia dosen, harus tahu risikonya.” Saat ini AD didampingi LBH Makassar, BEM, himpunan mahasiswa, dan LPSK. Proses hukum pun telah naik ke tahap penyidikan.

Terpisah, Anggota Tim Penasehat Hukum AD, Ambara Dewita, mengatakan perbuatan pelaku diduga kuat memanfaatkan jabatan sebagai dosen mata kuliah sekaligus pembimbing akademik untuk menciptakan relasi kuasa antara korban dan pelaku. 

Selanjutnya melegitimasi perbuatan pelecehan seksual itu.

“Jika didasarkan pada keterangan Korban dan saksi, maka perbuatan oknum dosen tersebut sudah cukup memenuhi unsur pelecehan seksual fisik dengan memanfaatkan kerentanan Korban, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf c Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan Seksual,” jelas Ambara.

Saat ini kasus yang dilaporkan Korban dengan Nomor Laporan Polisi: LP/B/78/I/2025/SPKT/POLDA SULSEL, sedang ditangani oleh Unit PPA Polda Sulsel.

Dari hasil keterangan pemeriksaan sementara, Korban mengaku tidak hanya sekali mengalami peristiwa tersebut.

Menurut Mirayati Amin, selaku Wakil Kepala Divisi Advokasi LBH Makassar, mendengarkan keterangan korban, perbuatan terduga pelaku yang berstatus sebagai tenaga pendidik di Universitas Negeri Makassar itu, berulang dengan pola yang serupa. Ia mengajak ke rumah, dengan dalih minta dipijat atau sekedar memperbaiki nilai mata kuliah.

Sehingga, jika mengacu pada pasal 15 ayat (1) UU TPKS, terhadap pelaku bisa dijerat dengan pasal pemberatan, yakni pidananya ditambah 1/3. Sehingga, terduga pelaku dapat diancam dengan pidana 16 tahun hukuman penjara.

Informasinya, KH sudah memberikan klarifikasi di Polda Sulsel. 

Tribun Timur terakhir mencoba mengkonfirmasi dosen KH dengan nomor kontak +62 852-9972-5XXX, Sabtu (14/6/2025) pukul 22.29 WITA.

Nomor ini terkonfirmasi milik KH dari dosen dan mahasiswanya di Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum UNM.

Namun, dia belum memberikan tanggapan atas tuduhan pelecehan seksual dan laporan AD ke Polda Sulsel.(*)

Liputan ini merupakan pendanaan yang didukung oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) di bawah Program Jurnalisme Aman.

Berita Terkini