Dalam pernyataan resminya, Greenpeace menyatakan bahwa aktivitas tambang nikel di beberapa pulau di Raja Ampat telah menimbulkan kerusakan yang tak bisa diabaikan.
Sejak 2024, organisasi ini mencatat pembukaan lahan secara masif terjadi di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, dengan luas hutan dibabat mencapai lebih dari 500 hektar.
“Limpasan tanah dan sedimentasi dari kegiatan tambang telah mengancam terumbu karang dan biota laut khas Raja Ampat,” ungkap Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Farah Dianti.
Siapa Pemilik Tambang Nikel di Raja Ampat?
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengungkap adanya empat perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah ini.
Dari empat perusahaan tersebut, hanya tiga yang memiliki izin penggunaan kawasan hutan (PPKH).
1. PT Gag Nikel
Perusahaan ini menjadi pemain lama di Raja Ampat. Berdiri sejak 1998 sebagai hasil kerjasama antara Asia Pacific Nickel Pty Ltd (Australia) dan PT Antam Tbk, kini Gag Nikel sepenuhnya dikuasai oleh Antam sejak 2008.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, PT Gag Nikel mengantongi wilayah izin tambang seluas 13.136 hektar dan mulai berproduksi sejak 2018.
2. PT Anugerah Surya Pratama
Berbendera asing, perusahaan ini merupakan bagian dari Wanxiang Group, raksasa nikel asal Tiongkok. Aktivitasnya menyasar wilayah Pulau Waigeo dan Manuran, dan berfokus pada tambang serta smelter feronikel.
3. PT Mulia Raymond Perkasa
Perusahaan ini diketahui melakukan eksplorasi di Pulau Batang Pele.
Namun, menurut KLHK, PT Mulia Raymond Perkasa tidak memiliki dokumen lingkungan maupun PPKH. Seluruh aktivitas mereka kini telah dihentikan.
4. PT Kawei Sejahtera Mining
Beroperasi di Pulau Kawe, perusahaan ini juga terseret dugaan pelanggaran lingkungan.
KLHK mencatat adanya pembukaan lahan tambang di luar izin lingkungan seluas 5 hektar, yang menyebabkan sedimentasi di pesisir.
KLHK telah menjatuhkan sanksi administratif dan menuntut pemulihan lingkungan.
Jika tidak dipenuhi, PT Kawei Sejahtera Mining terancam digugat secara perdata.
Raja Ampat memang menyimpan cadangan nikel strategis, seiring meningkatnya permintaan global untuk bahan baku baterai kendaraan listrik.
Namun, di tengah semangat transisi energi, kerusakan ekologis yang ditimbulkan justru menjadi ironi.
“Transisi energi tak bisa mengorbankan masyarakat adat dan lingkungan. Kalau tidak hati-hati, kita hanya mengganti satu bentuk krisis dengan krisis lainnya,” ujar Greenpeace. (*)