Inilah celah yang sering dimanfaatkan oleh pemangsa untuk mendekati dan memanipulasi mereka secara perlahan.
Fenomena ini dikenal sebagai online grooming. Ini adalah upaya orang dewasa membangun hubungan emosional dengan anak atau remaja melalui internet, dengan tujuan mengeksploitasi mereka. Dulu, praktik seperti ini membutuhkan pertemuan langsung. Kini, cukup dari balik layar.
Layaknya predator di alam liar, pemangsa ini tidak langsung menerkam, tetapi mendekat perlahan.
Pemangsa online ini memang sangat lihai. Dengan berbekal foto dan informasi palsu, mereka dapat dengan mudah membuat profil media sosial yang meyakinkan lalu menyamar sebagai teman sebaya.
Dengan pendekatan yang perlahan dan penuh kesabaran, mereka menciptakan kedekatan emosional tanpa menunjukkan niat jahat di awal.
Dalam proses ini, pelaku membuat korban merasa diperhatikan, dipahami, dan dihargai, sehingga terikat secara emosional dengan pelaku.
Pujian dan perhatian yang intens, membuat anak merasa istimewa. Anak-anak yang telah terjebak dalam perangkap ini merasa nyaman, tanpa menyadari bahwa hubungan tersebut dibangun atas dasar manipulasi.
Setelah hubungan terjalin, pelaku mulai mengarahkan percakapan ke topik pribadi yang lebih dalam.
Pada titik ini, pemangsa melanjutkan ke fase berikutnya: meminta korban untuk mengirimkan foto atau video pribadi, bahkan mengatur pertemuan langsung dalam situasi berisiko tinggi. Proses ini berlangsung perlahan, hingga korban merasa bahwa hubungan tersebut nyata dan istimewa.
Dampak yang ditimbulkan juga tidak berhenti di peristiwa eksploitasi itu sendiri.
Anak dan remaja yang menjadi korban bisa mengalami luka psikologis yang mendalam: merasa bersalah, kehilangan kepercayaan diri, menarik diri dari lingkungan, hingga mengalami tekanan emosional yang berat.
Dalam beberapa kasus, luka ini bisa berkembang menjadi gangguan mental serius seperti depresi hingga keinginan untuk mengakhiri hidup.
Apa sebenarnya yang membuat anak-anak kita begitu mudah terjerat dalam praktik online grooming?
Selain karena perkembangan mental dan kemampuan berpikir kritis yang belum sepenuhnya matang, ada satu faktor yang kerap diabaikan: kurangnya keterlibatan orangtua.
Orangtua seringkali terjebak dalam rutinitas dan kesibukan. Pekerjaan, urusan rumah tangga, dan berbagai tanggung jawab lainnya menyita energi dan waktu.