"Kami juga memasak nasi di kotatsu, meja kayu rendah yang ditutupi selimut tebal untuk menghangatkan kaki.
Kotatsu sangat populer di musim dingin Jepang," sambungnya.

Saat kakak dan adiknya dengan cermat mencatat suhu pada termometer setiap hari, Aiji kerap asyik bermain.
"Saya ingat saya bermain di kotatsu dengan seekor kucing dan membalikkan nasi lalu dimarahi."
Bagian dari tugas anak-anak adalah memakan nasi hasil masakan berbagai versi penanak nasi.
"Sejujurnya, rasanya sangat buruk. Bagaimana ya? Nasinya gosong atau kurang matang. Dan nasinya banyak sekali," kata Aiji.
Pada saat percobaan demi percobaan berlangsung, kesehatan Fumiko mulai memburuk.
Namun, ia tetap berjuang. Aiji merasa tahu alasannya.
"Ayah saya mengalami berbagai kesulitan dan melakukan hal-hal seperti mengundang orang tuanya untuk tinggal bersama keluarga. Saya pikir ibu saya bekerja sangat keras agar ia dapat membalas budi orang tuanya. Saya merasakan hal yang sama," ujar Aiji.
Fumiko terus menyempurnakan penanak nasi siang dan malam hingga…
"Ayah saya membawa pulang mesin penanak nasi pada tengah malam dan memaksa semua orang untuk bangun dan berkata, 'kita akan makan ini bersama-sama'. Kemudian, kami memasak nasi dengan penanak nasi dan makan sambil berkata, 'ah, ini lezat sekali'."
Berapa banyak penanak nasi yang berhasil dijual pada awalnya?
"Saya tidak tahu angka pastinya, tetapi saat mulai terjual puluhan ribu per bulan.
Mesin itu membebaskan para perempuan dari pekerjaan yang mengikat mereka selama dua hingga tiga jam sehari."
"Reputasinya menyebar dan para ibu rumah tangga mengirimkan banyak surat ucapan terima kasih. Beberapa di antaranya diberikan kepada ibu saya dan saat itu dia sedang sakit di tempat tidur dan dia mulai menangis ketika membacanya."
"Saya pikir dia merasa telah mencapai sesuatu yang hebat dalam hidupnya."
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sejarah di Balik Penemuan Rice Cooker, berkat Perjuangan Ibu di Jepang"