Opini

Manusia Silver: Cermin Budaya Urban dan Normalisasi Kemiskinan

Editor: Sudirman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

OPINI - Muhammad Idris Dosen Ilmu Komunikasi FSIKP UMI
OPINI - Muhammad Idris Dosen Ilmu Komunikasi FSIKP UMI

Oleh: Muhammad Idris

Dosen Ilmu Komunikasi FSIKP UMI

TRIBUN-TIMUR.COM - Pengamat Sosial Budaya, Pendidikan, Kebijakan dan Komunikasi Publik Manusia silver sebagai fenomena perkotaan kembali marak di sejumlah persimpangan jalan Kota Makassar.

Mereka umumnya berusia remaja dan anak-anak yang rela berdiri di bawah terik matahari dengan tubuh dilumuri cat silver.

Bermodalkan kardus, kantong atau wadah plastik mereka mendatangi pengendara dengan harapan mendapat recehan rupiah karena rasa iba.

Aksi ini bukan sekadar pertunjukan jalanan, melainkan cermin buram kompleksnya persoalan kebijakan publik, komunikasi sosial dan dinamika budaya urban.

Penertiban aksi manusia silver oleh Satpol PP beberapa hari lalu, sempat memicu ketegangan.

Perlawanan ini terjadi bukan sekedar soal penolakan terhadap aturan, tetapi juga protes atas kebijakan yang dianggap tidak menyentuh akar masalah.

Bagi mereka, apa yang dilakukan bukanlah sebuah tindak kriminal. Anggapan seperti ini jelas tidak akan menyelesaikan persoalan melalui metode penertiban.

Penegakan perda memang bertujuan menjaga ketertiban umum oleh Satpol PP dan itu menjadi kewajiban setiap pemerintah kota.

Namun metode penertiban dilakukan dengan pendekatan represi, berpotensi memunculkan perlawanan, penolakan, ataupun traumatis mereka yang umumnya anak-anak dan remaja.

Bentuk Normalisasi Kemiskinan

Selama ini, sering terdengar jika pemerintah kota selalu mengambil langkah penertiban atas setiap problem sosial masyarakat seperti anak jalanan, pengamen, pengemis
termasuk manusia silver.

Namun, ada baiknya jika setiap penertiban hendaknya diawali dengan pendekatan kebijakan berbasis data.

Dalam artian, sebelum menertibkan pemerintah kota perlu memahami mengapa manusia silver tetap eksis. Apakah karena persoalan kemiskinan, kurangnya lapangan
kerja, atau eksploitasi anak?

Viralnya lowongan kerja manusia silver minimal berijazah SMP di media sosial mungkin sekedar parodi, namun menggambarkan betapa persoalan ekonomi dan pengangguran remaja adalah masalah nyata.

Selanjutnya soal inkonsistensinya penegakan hukum. Manusia silver kerap ‘selalu’ dibiarkan beroperasi diawal sampai kemudian tiba-tiba ditertibkan saat ada operasi atau
keluhan warga.

Ini menciptakan persepsi bahwa hukum hanya bersifat temporer, bukan solusi permanen.

Fenomena manusia silver di Makassar memperlihatkan bagaimana komunikasi sosial bekerja dalam masyarakat urban. Cat silver bukan sekadar kostum, tapi simbol yang
sengaja dibangun demi menarik perhatian dan simpati.

Warna silver yang mencolok menjadi strategi komunikasi non-verbal untuk ‘memaksa’ pengendara memberi uang.

Sama seperti pengemis yang membawa anak bayi ataupun berpura-pura cacat dalam setiap aksinya, manusia silver pun demikian. Mereka berusaha mengesploitasi emosi,
rasa iba, haru, kasihan dari para pengendara agar memberi uang, karena melihat anak-anak berkulit silver di terik matahari.

Dilevel budaya, manusia silver adalah produk dari normalisasi kemiskinan dan budaya instan di perkotaan.

Aksi manusia silver seolah mengubah kemiskinan menjadi pertunjukan.

Cat silver membuat mereka terlihat ‘beda’ sehingga mudah dikenali, tapi juga mengaburkan fakta bahwa ini adalah bentuk pemaksaan anak-anak ke jalanan.

Pemberian uang receh oleh pengendara mencerminkan budaya sedekah instan tanpa pertimbangan dampak jangka panjang. Masyarakat merasa telah berbuat baik, tapi
tidak sadar bahwa mereka turut melanggengkan siklus eksploitasi.

Dominasi anak-anak dan remaja dalam aksi manusia silver menunjukkan bagaimana mereka dijadikan alat ekonomi keluarga ataupun alat eksploitasi orang dewasa.

Hal ini menunjukkan bentuk kegagalan perlindungan anak dan pendidikan.

Pendekatan Humanis dan Holistik

Memberikan pelatihan keterampilan dan akses modal bagi remaja pengangguran.

Memetakan keluarga manusia silver untuk dibantu melalui program sosial. Melibatkan komunitas lokal dalam pendampingan adalah bentuk pendekatan humanis dan holistik
pemerintah yang perlu ditempuh.

Program edukasi masyarakat lewat kampanye kasadaran publik agar tidak memberi uang langsung, tapi mendorong donasi melalui lembaga resmi bisa dilakukan.

Bersinergi dengan media massa, kampus, LSM, dan pemerhati anak untuk mengangkat isu ini sebagai persoalan struktural, bukan sekadar fenomena viral.

Setelah semua itu dilakukan, barulah langkah penegakan hukum yang konsisten diterapkan.

Menindak tegas pihak yang merekrut anak-anak sebagai manusia silver jika ada unsur eksploitasi.

Kemudian memperkuat pengawasan di sejumlah titik rawan.

Keberadaan manusia silver dipandang bukan sekadar gangguan ketertiban, melainkan potensi lemahnya sebuah kebijakan, komunikasi dan budaya kita dalam menyikapi
kemiskinan.

Manusia silver merupakan cermin yang memantulkan kesenjangan dan ketidakadilan sosial, eksploitasi anak dan kegagapan masyarakat urban menghadapi persoalan ekonomi.

Jika kita hanya sibuk menertibkan tanpa menyentuh akarnya, manusia silver akan terus kembali hanya dengan wajah yang mungkin berbeda.

Sebab aksi itu sebagai satu-satunya cara mereka untuk survival strategy atau seni bertahan hidup. (*/)

Berita Terkini