Konsekuensinya, capaian pelaksanaan RA merupakan indikator kinerja Pemda sebagaimana bunyi Pasal 3 ayat (2): “Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri menetapkan pelaksanaan RA di daerah sebagai salah satu indikator penilaian kinerja Pemda.”
Penulis memaknai refleksi atas KPRM adalah perjuangan warga menuntut hak-hak konstitusional atas kota, yang merupakan tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkannya.
Hak atas kota (right of the city) sebagaimana dimaksud para ahli adalah Hak Asasi Manusia dalam kepemilikan pribadi maupun kolektif.
Secara konstitusional atas kota sangat jelas dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yakni atas informasi yang transparan, hak atas kecukupan pangan, hak atas pendidikan yang terjangkau, hak atas layanan kesehatan berkualitas, hak atas perumahan layak huni, dan tentu saja kepastian hukum atas tanah tempat tinggal dan berusaha.
Persoalannya, seringkali aspirasi warga kota terabaikan, dan secara sepihak pemerintah lebih mengedepankan aspirasi kelompok kepentingan dominan seperti pengembang, mafia tanah, termasuk kebijakan pembangunan untuk kepentingan umum.
Padahal sejarah kota Makassar adalah sejarah pembentukan ruang hidup bersama warga setempat, pendatang, dan tentunya pemerintah kota.
Tidak mungkin kota ini dibangun hanya oleh pengembang atau pun pemerintah. Kota Makassar adalah produk warga Makassar dari manapun asalnya (common space) sejak zaman kolonial hingga era globalisasi.
Tidak cukup dengan kebijakan afirmatif pemerintah kota dalam memberikan layanan dan memenuhi kebutuhan dasar warga.
Ada hak fundamental karena itu bersifat universal yang harus dipenuhi pemerintah, yakni kesetaraan hak dalam perencanaan pembanguna kota.
Partisipasi warga dalam Musrenbang hanya satu mekanisme. Namun, partisipasi yang sesungguhnya adalah pelibatan warga dalam pembangunan berdasarkan pengalaman hidup mereka sehari-hari agar tepat sasaran, berdaya dan berhasil guna.
Agar hasil pembangunan tidak mubasir, pemerintah sudah seharusnya melembagakan “apa maunya warga”, “bagaimana cara memenuhinya”, dan “bagaimana mengatasi keterbatasan yang ada” dalam kebijakan efisiensi belakangan ini.
Pengalaman dua puluh tiga tahun KPRM memberikan pemahaman: pertama, mereka merepresentasi pandangan dunia, cara hidup, dan kelembagaan warga sehari-hari hasil dari dinamika sosial, politik, dan sejarah kota.
Budaya urban warga miskin perkotaan adalah hasil dari perjuangan mereka untuk bertahan (adaptasi, resistensi, kompromi) dalam kondisi yang sulit.
Kedua, sebagai komunitas budaya, mereka memproduksi pengetahuan tentang bagaimana berbagi lahan (land-sharing) dan menata pemukiman (kampung upgrading) sebagai solusi keterbatasan ruang.
Ketiga, mereka terorganisasi dalam kegiatan arisan, tabungan, gade-gade, warung kopi, koperasi, urban farming, dan berbagai hiburan maupun seni kampungan.