*Hukuman Diperberat Pengadilan Tinggi Jadi 20 Tahun Penjara
TRIBUN-TIMUR.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung buka suara usai Harvey Moeis divonis 20 tahun penjara dalam sidang banding kasuskorupsi timah di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, Kamis (13/2/2025).
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan pihaknya belum menentukan sikap atas vonis 20 tahun penjara Harvey yang telah diputus dalam pengadilan tingkat banding.
Adapun kata Harli sikap Kejagung tergantung pada sikap para terdakwa dalam menyikapi vonis tersebut.
"Bagaimana langkah selanjutnya? Tentu sangat tergantung pada sikap terdakwa, dimana sesuai hukum acara putusan pengadilan tinggi ini harus terlebih dahulu kepada pihak-pihak (Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa)," kata Harli.
Lebih lanjut dijelaskan Harli, bahwa terdapat waktu 14 hari ke depan seusai adanya putusan PT DKI Jakarta bagi para pihak termasuk terdakwa apakah bakal mengajukan kasasi atas vonis tersebut atau menerima.
"Jika menerima, maka putusan sudah berkekuatan hukum tetap, dan jika tidak menerima maka terdakwa dapat mengajukan upaya hukum kasasi," jelasnya.
Kendati demikian Kejagung kata Harli tetap menghormati apa yang menjadi keputusan majelis hakim pengadilan tinggi yang telah menjatuhkan vonis lebih berat daripada tuntutan jaksa.
Tak hanya soal pidana badan selama 20 tahun, Harli juga mengatakan bahwa pihaknya menghormati putusan hakim yang memperberat pidana tambahan uang pengganti kepada terdakwa.
"Inilah mekanisme persidangan, di mana hakim pengadilan yang lebih tinggi boleh sependapat atau tidak sependapat dengan putusan pengadilan dibawahnya dengan pertimbangan-pertimbangannya antara lain aspek keadilan hukum dan masyarakat," pungkasnya.
Kuasa Hukum Harvey Moeis, Junaedi Saibih mengkritik putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat vonis Harvey Moeis dan terdakwa lain dalam kasus dugaan korupsi timah.
“Helena uang pengganti 900 juta. Barang yang disita melebihi nilainya, ini menyalahi kaidah hukum,” ujar Junaedi.
Menurutnya, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menandakan wafatnya rule of laws di Indonesia atau prinsip hukum yang menyatakan bahwa negara harus diperintah oleh hukum dan bukan sekadar keputusan politis.
“Telah wafat rule of Laws pada hari Kamis, 13 Februari 2025 setelah rilisnya bocoran putusan Pengadilan Tinggi atas banding yang diajukan JPU terhadap putusan PN Jakarta Pusat,” kata Junaedi.
Junaedi menambahkan prinsip dan rasio hukum tidak boleh kalah oleh pertimbangan populisme yang membabi-buta.
“Mohon doanya agar Hukum dapat tegak kembali dan ratio legis gak boleh kalah oleh ratio populis apalagi akrobatik hukum atas penggunaan ketentuan hukum yang salah adalah pembangkangan atas legalitas,” paparnya.
Terkait hal ini menurut Junaedi, hingga kini pengadilan belum dapat membuktikan kebenaran dari klaim kerugian lingkungan yang dimasukan sebagai kerugian negara senilai Rp300 triliun, termasuk tidak ada temuan suap dan gratifikasi.
Karena itu, Junaedi mempertanyakan pertimbangan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memperberat vonis Harvey dari 6,5 tahun menjadi 20 tahun.
“Suap nggak ada, gratifikasi nggak ada. Kasus nggak ada suap, nggak ada kerugian aktual, apalagi kerugian BUMN bukan kerugian negara,” kata dia.
Selain itu Junaedi juga menyoroti dibebankannya denda sebesar denda 1 miliar subsider 1 tahun kurungan terhadap mantan Dirut PT Timah Mochtar Riza Pahlevi.
Junaedi berpendapat, pengenaan pidana tambahan atau uang pengganti itu seharusnya berdasarkan perhitungan faktual alias nilai buku, dimana dihitung atas dasar besaran yang dinikmati Riza selama proses kerja sama smelter berlangsung.
Junaedi mencatat, BPKP tidak pernah melakukan perhitungan secara mendalam mengenai hal tersebut. Terlebih perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP tidak didasarkan atas suatu neraca laba rugi.
“Yang dihitung hanyalah besaran jumlah pengeluaran PT Timah dalam kerja sama smelter tanpa pernah menghitung berapa besaran jumlah yang dihasilkan dari penjualan timah hasil kerja sama smelter,” ungkapnya.
Dalam laporan tahunan PT Timah, lanjut dia, secara sektoral dari kerja sama smelter membukukan keuntungan Rp233 miliar.
“Lalu darimana hitungan kerugian negara dihitungnya? Biar anak akuntansi semester 1 menjawab yang tahu cara membuat neraca laba/rugi,” pungkas Junaedi.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis terhadap terdakwa kasus korupsi tata niaga komoditas timah, Harvey Moeis dengan pidana penjara 20 tahun.
Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Teguh Harianto menyatakan Harvey terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) secara bersama-sama sebagaimana dakwaan pertama dan kedua primer jaksa penuntut umum.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Harvey Moeis dengan pidana penjara selama 20 tahun," kata Hakim Teguh.
Selain pidana badan, Harvey juga dijatuhi pidana denda sebesar Rp 1 miliar subsider 8 bulan kurungan apabila tidak membayar uang pengganti.
Tak hanya itu dalam amar putusannya, Majelis hakim PT DKI Jakarta juga memperberat beban uang pengganti terhadap Harvey Moeis yakni sebesar Rp 420 miliar.
Dengan ketentuan apabila Harvey tidak membayar uang pengganti selama 1 bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa untuk dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
"Dan apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka diganti dengan pidana penjara selama 10 tahun," jelas Hakim.
Adapun vonis yang dijatuhkan oleh PT DKI Jakarta ini jauh lebih berat ketimbang vonis yang dijatuhkan oleh Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta beberapa waktu lalu.
Dalam sidang vonis di Pengadilan tingkat pertama, Harvey Moeis divonis 6,5 tahun penjara dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah.
Dalam putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto, Harvey terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primer jaksa penuntut umum.
Harvey terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHAP.
Selain itu Harvey juga dianggap Hakim Eko terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Menjatuhkan terhadap terdakwa Harvey Moeis oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan," ucap Hakim Eko di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/12/2024).
Selain pidana badan, Harvey Moeis juga divonis pidana denda sebesar Rp 1 miliar dimana apabila tidak mampu membayar maka diganti dengan kurungan selama 6 bulan.
Tak hanya itu Harvey Moeis juga dikenakan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar. Namun apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap maka harta benda Harvey dapat disita oleh Jaksa untuk dilelang guna menutupi uang pengganti.
"Dalam hal terdakwa tidak memiliki harta benda lagi yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun," jelas Hakim.
Putusan terhadap Harvey oleh Majelis Hakim ini lebih rendah dibandingkan tuntutan yang dijatuhkan oleh Jaksa Penuntut Umum yakni selama 12 tahun penjara. Dalam tuntutannya, Jaksa penuntut umum (JPU) menilai Harvey terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Hal itu diatur dan diancam dengan pasal Pasal 2 ayat 1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHAP sebagaimana dalam dakwaan kesatu.
Selain itu Jaksa juga menilai bahwa Harvey terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dan diancam pidana dengan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 56 ke-1 KUHP.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Harvey Moeis dengan pidana penjara selama 12 tahun," ujar jaksa saat membacakan amar tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (9/12).
Selain dituntut pidana badan, Harvey juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Tak hanya itu, ia juga dituntut pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
"Jika dalam waktu tersebut terdakwa tidak membayar uang pengganti, maka harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana penjara selama 6 tahun," ujar jaksa. Dalam dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Rabu (14/8) lalu, Harvey Moeis berperan mengkoordinir pengumpulan uang pengamanan dari para perusahan smelter swasta di Bangka Belitung.
Perusahaan smelter yang dimaksud ialah: CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa.
"Terdawa Harvey Moeis dengan sepengetahuan Suparta selaku Direktur Utama PT Refined Bangka Tin dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT Refined Bangka Tin meminta kepada CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa untuk melakukan pembayaran biaya pengamanan kepada terdakwa Harvey Moeis sebesar USD 500 sampai dengan USD 750 per ton," ujar jaksa penuntut umum di persidangan.
Uang pengamanan tersebut diserahkan para pemilik smelter dengan cara transfer ke PT Quantum Skyline Exchage milik Crazy Rich Pantai Indah Kapuk (PIK), Helena Lim. Selain itu, uang pengamanan juga ada yang diserahkan secara tunai kepada Harvey Moeis.
Seluruh uang yang terkumpul, sebagian diserahkan Harvey Moeis kepada Direktur Utama PT Refined Bangka Tin, Suparta. Sedangkan sebagian lainnya, digunakan untuk kepentingan pribadi Harvey Moeis.
"Bahwa uang yang sudah diterima oleh terdakwa Harvey Moeis dari rekening PT Quantum Skyline Exchange dan dari penyerahan langsung, selanjutnya oleh terdakwa Harvey Moeis sebagian diserahkan ke Suparta untuk operasional Refined Bangka Tin dan sebagian lainnya digunakan oleh terdakwa Harvey Moeis untuk kepentingan terdakwa," kata jaksa penuntut umum.
Selain itu, dia juga didakwa tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait perbuatannya menyamarkan hasil tindak pidana korupsi, yakni Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (Tribun Network/fah/ham/wly)