Mahkamah Konstitusi

Kisah Mahasiswa Penggugat Ambang Batas di MK, Pilih Jadi Budak Korporat Dibanding Politisi

Editor: Muh Hasim Arfah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang menggugat presidential threshold ke MK, Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna bersama Dekan FH Ali Sodikin.

Jawaban yang sama dilontarkan Rizki, juga Tsalis dan Faisal.

Tsalis misalnya, menyebut keluarganya sangat awam politik. 

"Bahkan orang tua saya saja presidential threshold itu apa masih belum tahu gitu. Jadi mungkin saya tidak akan memproyeksikan ke sana," kata dia. 

“Putusan ini memang sesuai harapan, tapi bukan berarti kami ingin jadi politisi karena tujuan utama kami memajukan permohonan ini untuk mendorong lebih luas putra-putri Indonesia yang mungkin jalurnya menjadi politisi agar mereka punya akses yang sama,” tukasnya.

Gugatan yang diajukan oleh empat mahasiswa itu memang menjadi tonggak sejarah baru politik Indonesia, karena dari sekian banyak pengajuan uji materiil tentang presidential threshold, baru gugatan mereka yang dikabulkan oleh MK.

Berdasarkan putusan MK yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK, Saldi Isra, Pasal 222 UU Pemilu itu tak hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi serta nyata-nyata bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Alasan inilah yang menjadi dasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh empat mahasiswa itu.

Ketua Program Studi (Prodi) Hukum Tata Negara Fakultas Syari'ah dan Hukum (FSH), Gugun El Guyanie dan Dekan FSH, Prof. Dr. H. Ali Sodikin menceritakan bagaimana perasaan mereka atas perjuangan yang bisa mengubah peta politik nasional.

“Awalnya, kami tidak optimis. Karena jujur, ini pertama kali kami membuat draft permohonan yang nyata, meski kami paham dasarnya,” kata Enika di hadapan wartawan, Jumat (3/1/2025).

Enika dan kawan-kawan sempat merasakan tidak percaya diri karena permohonan mereka ke MK dirasa kurang baik. Bahkan, mereka tidak yakin permohonan itu bisa masuk ke sidang selanjutnya, apalagi sampai sidang putusan.

“Saat kami masuk ke sidang pendahuluan, itu semua dikuliti oleh Yang Mulia Hakim MK. Kami pikir, kesempatan untuk lanjut ke sidang permohonan pokok saja sepertinya sangat kecil, tapi alhamdulillah, tetap bisa lanjut,” beber dia.

Keraguan itu tervalidasi dari hasil diskusi dengan rekan-rekan pegiat konstitusi lain.

Sembilan orang menyebut permohonan ditolak, meski delapan lainnya yakin permohonan akan dikabulkan. 

“Kami rasa, permohonan kami tidak ada kesempatan karena kalau itu diputuskan, itu mengubah peta perpolitikan di Indonesia,” ucap Enika lagi.

Halaman
123

Berita Terkini