“Jika konflik-konflik seperti ini terus terjadi, bukan hanya perusahaan yang dirugikan, tetapi juga negara dan masyarakat,” tambah Prof. Abrar.
Perlunya Dukungan Penuh Negara
Sebagai kontrak strategis, keberadaan kontrak karya seperti milik Masmindo mendapat pengakuan dan dukungan penuh dari negara.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 yang dikeluarkan pada era Presiden Soeharto menegaskan bahwa dalam konflik antara pertambangan dan kepemilikan tanah, pertambangan harus menjadi prioritas.
Hal ini tetap relevan hingga sekarang, terutama untuk proyek-proyek yang berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional.
“Negara, dalam hal ini Satgas Percepatan Investasi Sulsel dan Polda Sulsel, harus hadir untuk menjamin kontrak karya ini berjalan dengan baik. Jika perusahaan tidak bisa melanjutkan kegiatannya, pendapatan negara dari sektor tambang akan lumpuh,” ujar Prof Abrar.
Ia juga mengingatkan bahwa pertambangan tidak akan selamanya berada di suatu wilayah.
Setelah masa kontrak selesai, perusahaan akan pergi, dan hak masyarakat atas tanah tersebut akan kembali utuh.
Kontrak Karya MDA tidak hanya penting untuk perusahaan, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat dan negara.
Inisiasi Satgas Percepatan Investasi oleh Kajati Sulsel, yang didukung oleh peran Polda Sulsel, akan menjadi sinergi yang tepat untuk memastikan kelancaran investasi di Sulawesi Selatan.
“Kontrak karya adalah amanah negara, dan semua pihak harus hadir untuk mendukungnya,” tutupnya.(*)