Teropong

Pemilu

Editor: Sudirman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Abdul Gafar 

Oleh: Abdul Gafar 

Dosen Ilmu Komunikasi Unhas Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM - PERISTIWA besar yang selalu menarik perhatian kita adalah pemilihan umum (pemilu). Di negeri ini pemilu telah beberapa kali dilaksanakan.

Pemilu dianggap sebuah pesta rakyat Indonesia setidaknya dilaksanakan sekali dalam 5 tahun.

Kita masih ingat mars lagu pemilu tahun 1971 yang diciptakan oleh Mochtar Embut. Liriknya “Pemilihan umum telah memanggil kita. 

Seluruh rakyat menyambut gembira. Hak demokrasi Pancasila Hikmah Indonesia merdeka. Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya”.

Menarik apa yang dikemukakan oleh Mochtar Embut bahwa pemilu seyogiyanya disambut gembira. Adanya demokrasi Pancasila. 

Kemudian memilih wakil yang dapat dipercaya. Pertanyaan kita, apakah lirik di atas berjalan sebagaimana mestinya? Tampaknya dari pemilu ke pemilu hal tersebut selalu dilanggar. 

Pesta yang semestinya berlangsung dalam suasana senang dan nyaman dapat berbalik arah menjadi menegangkan, menyeramkan hingga menakutkan. 

Suasana demokratis dapat terganggu oleh ketidakwarasan kita dalam praktiknya. Keterlibatan banyak pihak turut bermain dengan kecerdikan dan keculasan. 

Kalimat yang selalu dikumandangkan dalam pemilu adalah azas Luber dan Jurdil (Langsung umum bebas rahasia) serta (Jujur dan adil). Harapan kita begitu maunya. 

Namun lagi-lagi dalam kenyataannya ternyata hanya slogan kosong saja. Slogan itu tidak seindah yang dirasakan. 

Warna kelabu yang menutupi kebenaran. Pelanggaran dilakukan secara sengaja, terstrukrur, dan masif.

Penyelenggaraan proses pemilu mulai dari awal hingga akhir selalu mengandung dan mengundang permasalahan. Slogan manis akibat kekalahan yang dialami “siap kalah, siap menang” tidak berlaku secara universal. 

Dalam sebuah kontestasi hanya sedikit yang mampu menerapkan slogan ini.

Halaman
12

Berita Terkini