Sumpah Pemuda

Memperingati Sumpah Pemuda di Tengah 'Lemasnya' Pemuda

Editor: AS Kambie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

M Aris Munandar, Dosen Fakultas Hukum Unhas

Oleh: M Aris Munandar
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

TRIBUN-TIMUR.COM - Pemuda adalah orang yang masih muda. Kurang lebih seperti itulah definisi pemuda yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menjelaskan secara tegas bahwa tidak terdapat kesepakatan internasional yang berlaku secara universal mengenai definisi kelompok usia muda (Sumber: https://www.un.org/).

Namun, apakah pemuda hanya bersoalan umur? Tentu jawabannya adalah pemuda bukan hanya soal umur, melainkan juga mengenai prinsip, gaya hidup dan lain-lain.

Orang boleh saja berumur “tua” tapi jiwanya tetap muda, ungkapan itu kerap kali terdengar di telinga.

Memang sangat dalam maknanya, karena yang namanya muda tidak bisa diukur dari usia saja melainkan juga berasal dari aspek yang lebih luas lagi. 

Dalam konteks statistik, Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan 'pemuda' sebagai individu yang berusia 15 hingga 24 tahun (Sumber: https://www.unesco.org/).

Adanya batasan usia muda tersebut hanyalah keperluan statistik, bukan sebagai landasan yang bersifat universal dalam mengukur definisi “pemuda” itu.

Berbicara tentang pemuda, 28 Oktober 1928 adalah momentum peringatan hari bersejarah bagi Indonesia dan berangsur-angsur diperingati hingga saat ini.

Pasalnya, pada tanggal itulah para pemuda mengikrarkan sumpah setianya kepada bangsa Indonesia melalui Sumpah Pemuda.

Salah satu pemuda yang menjadi pengagas Sumpah Pemuda yaitu Muhammad Yamin. Ia didapuk sebagai pencetus Sumpah Pemuda.

Secara letterlijk, Yamin dikenal sebagai seorang cendekiawan yang banyak berperan dalam merumuskan konsep dasar negara dan konstitusi Indonesia.

Pada Kongres Pemuda II, ia berperan sebagai sekretaris serta mewakili pemuda dari Jong Sumatranen Bond.

Masih banyak lagi pemuda lainnya yang menjadi tokoh utama dilaksanakannya Sumpah Pemuda, seperti Soegondo, Joko Marsaid, Amir Sjarifoeddin, Johan Mohammad Cai, Katja Soengkana, Rumondor Cornelis Lefrand Senduk, Johannes Leimena, dan Mohammad Rochjani Su’ud.

Para tokoh pemuda tersebut memberikan sumbangsih pemikiran bagi nusa dan bangsa Indonesia. 

Tiga baris Sumpah Pemuda yang diikrarkan berbunyi:

Pertama, Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia.
Kedua, Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga, Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Mulia isi dari Sumpah Pemuda, sarat akan makna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Salah satu makna yang tersirat, adalah menyadarkan pemuda agar kuat dalam prinsip bernegara dan mampu mengikuti perkembangan zaman dengan berbasis sikap patriotisme dan tidak menjadi generasi muda yang mudah menyerah.

Contoh kecil dalam memakna sumpah pemudah adalah bijak menggunakan media digital dan mengukir prestasi. Hal ini penting, karena seorang pemuda tidak kenal lelah dan lemas.

Generasi lemas tidak akan mampu bersaing secara intelektual. Hal inilah yang menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini di Indonesia, yaitu kerap kali ada pemuda yang mudah menyerah bahkan kurang memahami makna dari kedudukannya sebagai pemuda.

Lebih sialnya lagi, generasi saat ini sering diberikan “labeling” sebagai generasi yang selalu menginginkan sesuatu yang instan. Banyak faktor, mungkin perkembangan teknologi salah satunya. 

Dalam artikel yang diterbitkan di Humanities & Social Sciences Communications, sebuah jurnal akses terbuka dari Springer Nature, peneliti menyoroti dampak negatif AI pada mahasiswa di Pakistan dan Tiongkok, terutama terkait "kemalasan, hilangnya kemampuan mengambil keputusan, dan masalah privasi."

Melalui pendekatan kualitatif dan analisis data primer yang diperoleh dari 285 mahasiswa di kedua negara, penelitian tersebut menemukan bahwa AI berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kemalasan (68,9 persen), masalah privasi dan keamanan pribadi (68,6 % ), serta berkurangnya kemampuan mengambil keputusan (27,7 % ).

Hasil ini menunjukkan adanya risiko nyata dalam penerapan AI di sektor pendidikan.

Penulis berharap temuan ini memicu perdebatan etis yang mendorong pengembangan regulasi AI yang ketat, khususnya untuk melindungi mahasiswa dan kualitas pendidikan (Sumber: https://www.dawn.com/).

Sebagai contoh, survei terbaru dari perusahaan riset digital Populix mengungkapkan bahwa 45 persen responden memanfaatkan platform berbasis kecerdasan buatan (AI).

Dari pengguna ini, 52 persen menggunakan ChatGPT, sementara 29 persen memilih Copy.ai.

Survei daring melalui aplikasi Populix pada April 2023 ini melibatkan 1.014 responden pria dan wanita berusia 17 hingga 55 tahun di Indonesia.

Pertanyaan disajikan dalam bentuk kuesioner dengan format pilihan ganda tunggal, pilihan ganda kompleks, dan isian singkat, dengan waktu pengisian sekitar 15 menit (Sumber: https://tekno.tempo.co/). Pelajar tentunya termasuk dalam mayoritas pengguna ChatGPT. 

Data di atas sebetulnya tidak bisa dianggap sepeleh, karena temuan bahwa teknologi yang semakin berkembang  memiliki dua sisi yaitu positif dan negatif. Jika teknologi digunakan secara baik, maka teknologi akan memberikan kebaikan (Positif).

Sebaliknya, jika teknologi digunakan secara “serampangan”, tentu menghasilkan hal buruk (Negatif). Salah satu keburukannya ialah menghasilkan generasi “lemas”. Hal ini disebabkan karena semakin berkurangnya intensitas berpikir, beralih ke hal-hal instan.

Contohnya membuat tugas kuliah dengan menggunakan AI tanpa memilah yang benar dan salah. “Comot” sana dan sini. Copy paste tugas kuliah dari AI tanpa parafrasa dan sumber pustaka yang jelas. Inilah sisi negatifnya.

Sebagai seorang pendidik, Saya sangat berharap adanya regulasi yang tepat sasaran dalam mengatur segala bentuk AI yang ada saat ini. Hal ini penting demi menciptakan generasi yang berkualitas dan tidak mudah tergerus oleh zaman.

Teknologi sangat penting di dunia pendidikan untuk membentuk pemuda yang aktual.

Namun, teknologi juga perlu diatur sedemikian rupa agar tidak menghasilkan benih-benih pragmatisme di tubuh pemuda, khususnya terhadap kaum terpelajar.

Kalau pun AI sudah terlanjur masuk ke Indonesia, maka diperlukan kerangka regulasi yang kuat untuk mengurangi dampak negatif teknologi terhadap pendidikan.

Pada dasarnya hadirnya AI mestinya menjadi pemicu untuk berpikir kritis, bahkan lebih berhati-hati dalam mengolah informasi. Sehingga pemuda atau generasi masa kini Indonesia bisa lebih produkti dan tidak “lemas” karena ketergantungan teknologi.

Momentum Sumpah Pemuda ini sudah sepantasnya diperingati dengan meningkatkan kesadaran untuk menjadi pemuda yang tangguh dan tidak pragmatis semata.

Para pemuda penggagas sumpah pemuda telah memberikan kita contoh bahwa pemuda itu harus bangkit dan melawan segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan terhadap nalar kritis dengan lemasnya pemuda dalam berpikir karena terlalu ketergantungan terhadap teknologi.

“Pemuda yang tangguh adalah pemuda yang senantiasa menggunakan akal sehatnya dalam memecahkan masalah”. Sedangkan pemuda yang “lemas” ialah pemuda yang malas berpikir.(*)

 

 

Berita Terkini