TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - TEDx Universitas Hasanuddin memberikan sajian ide terbaik di Aula Unhas TV, Kampus Unhas, Tamalanrea, Makassar, Sabtu (28/9/2024).
Ada enam topik berbeda yang diulas oleh pembicara hebat dibidangnya masing-masing dalam tema 'Unveiling interconnected realities'.
Mereka ialah Juang Manyala membahas tentang lokalitas musik di Kota Makassar.
Lalu Ahmad Yani mengulas tentang demokrasi dan kepemimpinan.
Berikutnya Evelyn Vargas terkait hospitality dan caring.
Ada juga Teguh Iswara Suardi berbicara tentang arsitektur dan kehidupan.
Selanjutnya mengulas terkait inklusi bagi disabilitas oleh Nur Syarif Ramadhan.
Baca juga: Dosen Muda Muhammad Ashry Sallatu Inisiasi TEDx Unhas, Apa Itu?
Terakhir ada pemaparan ide tentang caregiver, Annisa Apriliani.
Tak ketinggalan,Rektor Unhas Prof Jamaluddin Jompa juga menyatakan idenya dihadapan ratusan pemuda.
Prof Jamaluddin Jompa membahas tentang usaha Unhas menerapkan interdisiplin.
"Ke depan interdisiplin penting. Semua disiplin menyatu dalam menyelesaikan masalah kita mengarah pada transisis iklim. Gabungan seluruh Ilmu dalam perspektif komprehensif," kata Prof JJ.
"Unhas dua tahun lakukan riset interdisiplin, fakultas A gabung Fakultas B, kita lakukan sebagai obligatory mengganungkan beberapa peneliti ada proses interaksi, pendekatan berbeda dan ide berbeda," lanjutnya.
Tantangan Unhas saat ini adalah menggerakkan dosen dari multidisiplin menjadi interdisiplin.
Dari pembicara, Juang Manyala berangkat dari keresahan tentang ekosistem musik di Kota Makassar.
Dirinya membandingkan dengan ekosistem musik yang terbentuk di Pulau Jawa.
Misi itu membawanya berkelana mengeluarkan ide melalui mendirikan media musik hingga mendirikan Prolog ecosystem.
"Prolog ecosystem ini dibangun bersama teman komunitas musik, kita merumuskan apa saja problem ekosistem musik di Makassar," jelas Juang Manyala.
Desain Thinking itu menghasilkan tiga poin yang harus dimiliki ekosistem musik di Makassar.
Mulai dari edukasi, produksi sampai eksibisi.
"Program edukasi, sarana produksi dan wadah eksebisi paling dibutuhkan. Dulu ada studio, tidak ada festival. Sekarang ada festival, edukasi tidak banyak. Tidak pernah ekosistemnya dari hulu ke hilir difasilitasi anak muda bermusik di Makassar. Ini kami lakukan di Prolog," jelasnya.
Ahmad Yani sendiri berbicara tentang demokrasi dan kepemimpinan di Indonesia.
Dirinya belajar dari karya sastra seperti La galigo hingga Latoa.
Dalam karya sastra sendiri, system pemerintahan digambarkan.
"Saya menemukan konsep , Non Western Public Administration. Para skolastik kemudian mengkritik system pemerintahan di Amerika dan Eropa yang dipaksakan masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia," kata Ahmad Yani.
Belajar dari Latoa, buku karya Prof Mattulada. Ahmad Yani belajar bagaimana buku ini membuka cerita panduan kepemimpinan, petuah, orang bijak kepada raja untuk memimpin saat itu.
"Hukum adat diperlukan mengontrol bangsawan supaya tidak sewenang-wenang menggunakan kekuasaan. Adat juga dibutuhkan pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan," kata Ahmad Yani.
Ada nilai kesetaraan yang diulas Ahmad Yani dari buku Latoa.
Masyarakat setara didepan hukum, sementara raja dan bangsawan dikontrol oleh hukum.
"Ungkapan lain disebutkan bahwa raja bukanlah siapa-siapa tanpa rakyat. Rakyat tetaplah rakyat meskipun tanpa rakyat," kata Ahmad Yani.
"Para raja dan bangsawan dipilih untuk semata pelayan public. Para pemimpin, presiden, bupati, wali kota, anggota dewan seharusnya kalian tidak perlu tidur pagi atau malam. Jangan sampai kau nyenyak saat ada anak tidak sekolah," lanjutnya.
Sementara itu, Evelyn Vargas membahas bagaimana kepedulian atau keramahan bisa menjadi pola pikir yang memantik perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Evelyn berbagi pengalaman dalam bidang hospitality.
Hingga dirinya percaya dengan keramahan dan kepedulian bisa mengubah dunia.
Pembicara keempat Teguh Iswara mengangkat tema tentang 'Arsitekur Berbicara'
Melalui bangunan, Teguh ingin menyampaikan pesan tertentu dengan membawa desain tertentu.
"Diseluruh dunia bangunan bertanggungjawab atas 40 persen emisi CO2," jelas Teguh.
Industri bangunan disebutnya begitu membutuhkan energi yang besar.
Teguh mengaku kini bangunan tidak boleh merancang bangunan hanya efektif dan efisiensi.
"Tapi harus melihat dampaknya, kita harus lebih bertanggungjawab. Kami menyebut arsitektur bercerita.Artinya Arsitektur ingin menyampaikan pesan," lanjutnya.
Teguh mencontohkan beberapa desain bangunan. Diantaranya perpustakaan di Kabupaten Barru.
Dirinya merancang perpustakaan dengan arsitektur modern dipadukan dengan aksara Lontara.
Kemudian memanfaatkan cahaya matahari untuk mereduksi kebutuhan energi.
Bangunan juga dirancang lebih inklusi terhadap penyandang disabilitas.
Gayung bersambut, Nur Syarif Ramadhan membahas tentang disabilitas.
Nur Syarif menceritakan pengalamannya yang menghadapi stigma negatif sejak SD hingga masa kuliah.
Nur Syarif mengajak masyarakat keluar dari stigma negatif.
Termasuk menyuarakan akses disabilitas terhadap ruang public.
"Ketika membuat bangunan harusnya dipikirkan, apakah bangunan itu mengakumodasi kebutuhan setiap orang," kata Nur Syarif.
Terakhir, Annisa Apriliani berbicara tentang caregiver.
Annisa berada di persimpangan jalan yang harus dilalui. Saat kehidupan sosialnya harus berjalan seiring kewajibannya merawat orangtua.
"Peran dan hak caregiver harusnya dilindungi secara maksimal. Salah satu aspek terkait kesempatan bekerja secara adil bagi caregiver," kata Annisa.
"Di Belanda dan beberapa negara eropa, pekerja yang memiliki kewajiban caregiver diberikan hak cuti untuk menjalankan tugasnya sebagai caregiver," lanjutnya.
Dalam konsep itu, ada yang mendapat akomodasi penuh namun ada juga yang tidak menerima akomodasi.
Hak caregiver diperjuangkan Annisa untuk mendapat ruang lebih fleksibel dalam dunia kerja.(*)
Laporan Wartawan Tribun-Timur.com, Faqih Imtiyaaz