Dalam salah satu pidatonya merespon Operasi Badai al-Aqsa, ia menegaskan bahwa rakyat Palestina di Gaza memiliki kesediaan untuk mengorbankan semua yang berharga demi kebebasan dan martabat mereka dan memperingatkan bahwa rezim akan membayar harga yang mahal atas kejahatan dan terorisme mereka terhadap warga Palestina.
Pada tanggal 1 November 2023, Haniyeh mengecam rezim Israel karena melakukan pembantaian biadab terhadap warga sipil tak bersenjata setelah serangan keji di kamp pengungsi Jabalia.
Pada bulan Desember, sebuah jajak pendapat menunjukkan bahwa Haniyeh akan mengalahkan Mahmoud Abbas dengan selisih suara yang besar untuk posisi Presiden Negara Palestina – 78 persen untuk Haniyeh dan 16 persen untuk Abbas – yang menunjukkan semakin populernya pemimpin perlawanan Hamas tersebut.
Tidak hanya mengorbankan harta, waktu dan pikirannya untuk perlawanan Palestina, Haniyeh juga mempersembahkan pengorbanan pribadi, dengan sedikitnya 14 anggota keluarga dekatnya tewas dalam serangan udara Israel di rumah keluarganya di Kota Gaza pada bulan Oktober.
Pada November 2023, anak perempuan dan cucunya juga tewas.
Pada April 2024, dalam tragedi besar, Haniyeh kehilangan tiga putra dan tiga cucunya dalam serangan udara Israel di Jalur Gaza.
Pada Juni 2024, sepuluh anggota keluarga dekatnya, termasuk saudara perempuannya yang berusia 80 tahun, tewas dalam serangan udara Israel di kamp pengungsi al-Shati di Gaza.
Pada akhirnya, proyektil peluru yang ditembakkan melalui udara menghentikan langkahnya sekaligus mengakhiri pengorbanannya.
Pukul 2 dini hari, di tempat ia menginap di Teheran yang mendapatkan pengamanan ketat IRGC, ia terbunuh bersama pengawal pribadinya.
Meski tidak lagi bernafas, namun perjuangan tetap hidup dan warisannya akan terus menjadi mercusuar inspirasi bagi pasukan perlawanan terhadap pendudukan Israel, yang sudah berada di ambang kepunahan.
Dalam wawancara dengan Press TV pada bulan April tahun lalu, Haniyeh menegaskan bahwa Israel hidup dalam situasi terburuknya yang pernah ada.
Sepuluh bulan setelah Operasi Badai Al-Aqsa, rezim tersebut kini menatap kehampaan setelah gagal mencapai tujuan militernya meskipun telah membantai hampir 40.000 warga Palestina.
Kematian Ismail Haniyeh, justru tidak memberi keuntungan apapun bagi Israel.
Gerakan Hamas selama bertahun-tahun kehilangan puluhan pemimpinnya dalam pembunuhan Israel di Gaza, Tepi Barat, dan luar negeri, tetapi kematian tersebut tidak melemahkan gerakan tersebut.
Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Sayid Ali Khamenei merespon kematian Ismail Haniyeh dengan mengatakan, Haniyeh adalah tamu negara, dan wajib bagi Iran sebagai tuan rumah membalaskan darahnya.
Panglima IRGC, Mayor Jenderal Salami dalam pernyataannya menyebutkan, pasukannya akan membuat rezim Zionis menyesal atas tindakan pengecutnya. Selamat jalan pejuang Al-Quds.(*)