"Saya tahu diri, banyak tamu lain yang lebih lama menunggu dan lebih darurat urusannya dibanding saya."
Pertemuan murid dengan guru pun baru berlangsung keesokan harinya.
Selepas Shalat Lohor, guru baru menyapa dan memangil si murid.
"Bukan di ruang tamu, atau masjid saya diajak ke kamarnya di lantai 2," ujar Puang Makka.
Di bilik Sang Guru, usai saling menanyakan kabar, si murid lebih banyak jadi pendengar baik.
Kira kira mereka berbicara hampir satu jam.
Di tengah percakapan banyak hal itu, "saya memijit tangan Habib Lutfhi. Eh, ternyata dia balik menggenggam tangan saya, dan tertidur."
Adab berguru level lain pun datang.
"Saya tak berani gerakkan tangan. Diam takut kalau bergerak, guru saya terbangun." ujar Puang Makka, mengisahkan 30 menit tangannya digenggam tertidur ulama kharismatik itu.
Selama masa genggaman itu, Puang Makka, mengaku hanya berzikir dan mendaras lafalan surah-surah pendek hafalannya.
Sang Guru terbangun jelang azan Ashar.
Tangan si murid tetap tak bergerak, sampai sang guru hanya tersenyum melihat perilaku muridnya.
Percakapan setelah tidur jelang Ashar itu tak panjang.
Masih ada cerita dan pembicaraan, tapi tamu di lantai 1 masih banyak dan lebih prioritas.
Puang Makka lalu meminta izin untuk berangkat ke Surabaya, lalu ke Kediri, untuk mengantar anaknya kursus bahasa di Kampung "Pare" Arab.