Rambu Solo Ne Linggi

35 Tedong Disembelih di Rambu Solo Ne' Linggi Toraja, Harga Per Ekor Setara 1 Rumah Komersil

Penulis: Erlan Saputra
Editor: Sukmawati Ibrahim
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang tamu memperhatikan tedong bonga di samping baruga di lokasi Upacara Pemakaman Adat Rambu Solo Ne' Linggi', Lapangan Rantepangli, Sesean, Toraja Utara, Senin (15/4/2024). Tedong bonga ini disebut loko'boko' karena belang hitam terdapat di punggungnya dan harganya ditaksir hingga Rp300 juta.

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Upacara adat Rambu Solo' Ne' Linggi di Toraja Utara (Torut), menyajikan sebuah pemandangan memukau.

Tak terhidung berapa miliar anggaran Rambu Solo ini.

Tercatat ada 35 kerbau siap disembelih dalam prosesi upacara pemakaman Ne Linggi di Lapangan Kelurahan Pangli, Kecamatan Sesean, Torut.

Mata para pengunjung terbelalak saat kehadiran Tedong Bonga.

Hewan mahal yang memiliki makna mendalam dalam budaya Toraja, memperindah upacara adat Rambu Solo' Ne' Linggi di Toraja. 

Kehadiran Tedong Bonga ini mengundang decak kagum dan kekaguman dalam ritual yang kaya akan tradisi.

Tedong Bonga, dipercaya warga Toraja memiki nilai spiritual yang tinggi, serta menambahkan lapisan kekayaan budaya dalam upacara ini. 

"Kami total 7 bersaudara. Jadi per orang itu menyiapkan 5 ekor kerbau. Totalnya 35 ekor Tedong," kata Daniel Pongmasangka, Senin (15/4/2024).

Daniel Pongmasangka menambahkan, tidak semua tedong akan disembeli.

Baca juga: Mobil Toyota Avanza Lewat! Tedong Bonga Toraja Ini Harganya Fantastis, Tembus Rp410 Juta Per Ekor

Sebab, ada beberapa ekor akan disumbangkan.

"Ada beberapa yang dipotong dan beberapa disumbangkan ke Gereja juga," tambahnya.

Sementara itu, Menantu Ne' Linggi, Yakoba Sampeliling menegaskan bahwa jumlah dan jenis kerbau juga menjadi faktor penting. 

"Jadi walaupun strata sosial mereka memungkinkan untuk dipakai, tapi kalau kerbaunya tidak memadai itu tidak bisa," katanya.

Proses pemakaman Ne' Linggi' melibatkan 35 ekor kerbau atau tedong. 

Menurutnya, harus ada lima jenis kerbau yang berbeda di antara 35 ekor yang dipersiapkan. 

"Sebenarnya hanya 24 kerbau itu maksimal, tapi biasa dilebihkan itu untuk disumbangkan juga dan dibagikan kepada masyarakat," ujarnya.

Untuk Tedong bonga, dia menjelaskan bahwa harus ada lima jenis di dalamnya.

Yaitu jenis Tedong Saleko, Balian, Todi', Pudu, dan Sambau. 

Upacara pemakaman Ne' Linggi' tidak hanya menjadi momen penghormatan terakhir, tetapi juga memperlihatkan kekayaan dan kompleksitas tradisi adat Toraja yang khas.

Harga Per Ekor Setara 1 Unit Rumah Komersil

Baca juga: Turis Mancanegara Ikut Ritual Mabadong Adat Toraja untuk Almarhum Ne Linggi

Ne' Linggi, anak ketiga Pong Masangka, dihormati dengan sebuah upacara adat yang melibatkan sedikitnya 35 ekor Tedong.

Tiga diantaranya merupakan Tedong Bonga.

Tedong Bonga bukanlah kerbau sembarangan. 

Tiga ekor Tedong Bonga ini menarik perhatian dengan nilai jual yang fantastis.

Hewan ini memiliki ciri khas tersendiri dan dianggap sebagai simbol kehormatan dan kemakmuran dalam budaya Toraja. 

Tidak mengherankan jika nilai jualnya juga mencapai angka yang fantastis, bahkan tembus ratusan juta hingga miliaran.

Dari ketiga ekor tersebut, satu ekor kerbau Tedong Bonga mencapai harga tertinggi Rp410 juta.

Sementara dua ekor lainnya tidak kalah mengejutkan dengan harga Rp320 juta per ekor.

Menilik harga rerata rumah komersil di Makassar, tipe 36 dibanderol Rp 300 jutaan hingga Rp 500 juta. 

Sedangkan rumah subsidi di se Sulsel saat ini Rp170 jutaan. (*)

Rambu Solo', Pemakaman Anak Pong Masangka Mengikuti Kearifan Lokal

Anak ketiga Pong Masangka, Yuli Maria Tangkeallo atau Ne’ Linggi’, akan dimakamkan pada secara adat ritual Rambu Solo' yang puncak acaranya pada pertengahan April 2024 nanti.

Rambu Solo' akan digelar di Tongkonan Ne’ Linggi’ di Pangrante, Kelurahan Pangli, Kecamatan Sesean, Toraja Utara.

Sekedar diketahui bahwa Pong Masangka merupakan salah satu rekan seperjuangan Pong Tiku mengusir penjajah Belanda di Toraja

Ne' Linggi' ini meninggal pada tanggal 21 Agustus 2021 lalu. Ia meninggal di usia 88 tahun.

Ne’ Linggi’ memiliki tujuh orang anak dan hampir semuanya merantau. Karena inipulalah yang membuat prosesi Rambu Solo' untuk Ne' Linggi' harus diundur sekitar dua tahun

"Karena kami mencari waktu yang tepat di mana semua rumpun keluarga bisa kumpul semuanya. Selain itu, kami adakan setelah Lebaran karena ada beberapa keluarga kami juga yang Muslim," ucap Daniel Pongmasangka atau Papa’ Linggi’, putra pertama Ne' Linggi'.

Saat ini sudah dalam proses menuju acara adat.

Pada umumnya, acara adat di Toraja melibatkan banyak orang yang merupakan rumpun keluarga, sehingga perlu dibuatkan lantang atau pondok

Sejumlah Lantang dibangun di sekitar Tongkonan keluarga yang berduka

Hampir 80 persen lantang ini terbuat dari bambu, material yang banyak bertebaran di Toraja.

Hanya beberapa menggunakan papan, serta atap dari daun pohon sagu

Jumlah lantang yang dibuat diperhitungkan dengan banyaknya tamu nantinya akan datang dan tinggal selama prosesi berlangsung. Setiap lantang nantinya akan ditempati masing-masing rumpun keluarga.

"Ini sementara dibangun lantang, Lakkian (untuk menyemayamkan jenazah selama ritual acara berlangsung) dan juga pondok untuk tempat penerimaan tamu nantinya," kata Daniel.

Membangun lantang tidak hanya melibatkan keluarga yang berduka, tapi juga warga kampung sekitarnya.

"Tanggal 2 Maret nanti, prosesi melantang akan dihadiri semua orang warga kampung. Ini menunjukkan gotong royong yang tinggi masih melekat dalam masyarakat Toraja," tuturnya.

Daniel menambahkan, pihak keluarga akan menghadirkan kearifan lokal dan kecintaan pada alam.

Diantaranya alas makanya nantinya akan menggunakan daun pisang, bukan kertas nasi yang banyak digunakan saat ini.

Daniel ingin mengembalikan kenangan nenek moyang jaman dulu yang menggunakan daun pisang sebagai alas makan.

"Kalau sekarang kan banyak menggunakan kertas nasi, kita akan menggunakan daun. Memang merepotkan, tapi kami akan berusaha. Sudah ada yang akan mengurus itu," turut pria paruh baya tersebut

Sebelum puncak Rambu Solo', jenazah Ne' Linggi' akan diarak dari rumah ke tongkonan Karongian, lalu ke rante untuk dilakukan menanam Batu Simbuang.

Ini semacam napak tilas ke lokasi yang pernah ditempati almarhuman, lahir dan bertumbuh.

Batu simbuang merupakan sebuah batu besar atau bisa disebut menhir atau batu megalitik.

Batu ini nantinya ditanam sebagai penanda di Rante Pedukuran dekat SMA Negeri 3 Toraja Utara.

Keberadaan Batu Simbuang merupakan suatu bagian simbol yang sangat penting dalam suatu proses daur ulang manusia yang diyakini Suku Toraja.

Umumnya, Batu Simbuang berbentuk persegi panjang atau bentuk oval. Bentuk tersebut ada diperoleh secara alam, namun kebanyakan dipahat sampai menjadi bentuk diinginkan.

Dalam kehidupan masyarakat Toraja, Batu Simbuang merupakan simbol status sosial yang menjelaskan kelas bangsawan dari keluarga yang mendirikan dan memiliki batu tersebut.

Batu simbuang menunjukkan bahwa seseorang dari kalangan bangsawan bulaan baru saja melakukan sebuah upacara Rambu Solo’ dengan ukuran Sapu Randanan.

Setelah itu, jenazah dikembalikan ke lokasi ritual Rambu Solo' dan ditempatkan di Lakkian.

Sesuai tradisi, jalan saat keluar tidak boleh sama dengan jalan saat kembali, jadi rombongan akan melewati jalan lain saat membawa kembali jenazah untuk ditempatkan di Lakkian.

Setelah itu, masuklah prosesi Rambu Solo'.

Rambu Solo adalah upacara pemakaman adat Toraja, Sulawesi Selatan, yang telah dilakukan secara turun temurun sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada orang yang telah meninggal.

Upacara Rambu Solo memakan biaya yang tidak sedikit.

Karena, upacara ini membutuhkan penyembelihan kerbau dan atau babi yang jumlahnya tidak sedikit dan prosesinya berlangsung beberapa hari.

Selain pemberian babi atau kerbau dari tamu kepada keluarga yang ditinggalkan sebagai wujud ikatan kekeluargaan.

Pihak keluarga atau anak dari yang meninggal pun wajib menyembelih hewan kuban.

Banyaknya kerbau yang dipotong juga menandakan tingkat strata dari penyelenggara acara ini.

Keluarga Pong Masangka ini termasuk dalam bangsawan tinggi (Tana' Bulaan), sehingga menyembelih kerbau sesuai ukuran Sapu Randanan.

Nantinya, jenazah Ne' Linggi' akan disemayamkan di Patane keluarga, sama dengan jenazah Pong Masangka dan juga ibunya serta sanak keluarga yang lain. (*)

 





Berita Terkini