Oleh: Mulawarman
Jurnalis, Alumnus Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unhas mati? Pernyataan ini boleh jadi bagi sebagian orang cukup hiperbolik, mengingat besarnya harapan masyarakat akan power gerakan mahasiswa.
Betapa tidak, saat sebagian mahasiswa di sejumlah daerah, terutama di Jawa aktif berbicara menyuarakan suara kritis generasinya dan publik, menolak politik dinasti rezim Jokowi yang diyakini mahasiswa akan mematikan demokrasi di NKRI.
Mahasiswa Unhas, tidak kunjung terdengar suaranya, meski sayup-sayup, karena BEM Unhas tengah mati suri.
Yang memprihatinkan, BEM Unhas mati suri, bukan karena ulahnya sendiri, tapi dipaksa untuk mati suri oleh "tangan-tangan" pejabat-pejabat universitas yang notabene akademisi Unhas.
Universitas merekayasa eko sistem lingkungan akademik dan kemahasiswaan di kampus, agar tidak ada ruang dan peluang untuk tumbuh berkembangnya minat dan motivasi mahasiswa untuk aktif berorganisasi dan berlembaga, menghidupkan BEM Unhas.
Akibatnya, organisasi intra kampus itu, sepi peminat lalu kemudian non aktif hingga pada akhirnya BEM Unhas mati suri mejemput ajalnya.
Bila BEM yang selama ini jadi wadah pembelajaran dan kritisisme mahasiswa hilang, maka sulit rasanya menaruh harapan pada kampus menjadi lokomotif perubahan.
Tulisan ini akan menyoroti sisi lain BEM Unhas yang tengah menunggu ajalnya.
Faktor-faktor yang berada di belakangnya, serta langkah yang perlu diambil agar spirit agent of change itu tetap tumbuh di lingkungan akademik di kampus Tamalanrea.
BEM dan Ruang Aktualisasi Mahasiswa
BEM yang sejak awal pendiriannya, diniatkan menjadi wadah bagi aktivisme mahasiswa di internal kampus, mengalami pasang surut. Mulai dari Dewan Mahasiswa (Dema) pada saat Orde Lama.
Kemudian Senat Mahasiswa di masa orde Baru, hingga menjadi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di masa reformasi.
Di Unhas, Dema-nya pernah sangat aktif dan melahirkan banyak tokoh nasional.
Sebut saja, Tadjuddin Noor Said, Marwah Daud Ibrahim, Jusuf Kalla, Prof Paturusi, Husni Tanra, Taslim Arifin, Madjid Sallatu dan tokoh-tokoh nasional alumni Unhas lainnya.
Kemudian pada saat diberlakukan NKK/BKK di saman Orde Baru yang berubah nama menjadi Senat Mahasiswa, tak kalah banyaknya tokoh dan aktivis yang lahir dari organisasi kemahasiswaan Unhas.
Sebut saja, Iqbal Latanro, Amran Razak, Andi Rudiyanto Asapa, Betma Kuruseng, Hamid Paddu, Yayat Pangerang. Hingga menjelang reformasi, banyak para aktivis mahasiswa Unhas yang turun ke jalan memimpin demonstrasi menumbangkan rezim.
Pembungkaman Orde Baru melalui NKK/BKK, nyatanya tidak lantas menghilangkan daya kritis mahasiswa-mahasiswa Unhas.
Mengingat hal itu turut dirawat oleh para aktivis dan dosen muda yang banyak berasal dari aktivis mengawal kritisisme itu.
Hubungan patron senior dan junior, mahasiswa dan dosen memberikan kesadaran dan pendidikan kritis bersama-sama dalam menghadapi otoritarian Orde Baru.
Reformasi menumbuhkan harapan baru bagi organisasi mahasiswa seperti BEM Unhas dalam mengakselerasi kritisisme mahasiswa.
Hanya saja, harapan itu dicemari oleh tindakan yang kontraproduktif, BEM Unhas kerap kali demo rektorat dan BEM Unhas tidak mampu hilangkan tawuran mahasiswa.
Hampir setiap tahunnya, terjadi tawuran mahasiswa antar fakultas di Unhas. Buntutnya, BEM Unhas mendapatkan citra kurang baik.
Sejurus dengan itu, terbangun dan bermunculan opini dan narasi, mulai BEM tidak lagi efektif sebagai wadah kegiatan mahasiswa, BEM hanya membuat gaduh di kampus, kampus tidak tenang, BEM bukan samannya, dan mahasiswa Unhas sudah tidak butuh lagi BEM.
Akhirnya perlahan namun pasti, dukungan ke BEM Unhas juga semakin berkurang.
Pejabat rektorat tidak lagi fokus urus bidang kemahasiswaan, anggaran kemahasiswaan semakin minin, hingga dosen yang kurang aware.
Rekayasa Universitas menggiring dan mengantar BEM Unhas menjemput ajalnya, seperti mendapat dukungan dari Kemendikbud.
2 tahun lalu Kemendikbud memutuskan urusan kemahasiswaan di Universitas menjadi urusan dan kewenangan Wakil Rektor (WR) 1, Bukan lagi WR 3.
Membuat kemahasiswaan tidak lagi diurus oleh seorang WR 3, tapi diurusi oleh seorang Kasubag di bawa lingkup kerja WR 1.
Meski UGM dan beberapa univer sitas lainnya, urusan kemahasiswaanya masih tetap menjadi kewenangan penuh WR 3, namun Unhas memilih patuh pada Kemendikbud.
Puncak keprihatinan BEM Unhas mati suri, terjadi sejak di tahun 2008, di masa Prof Paturusi jadi Rektor Unhas.
Tidak ada pengurus dan kegiatannya, aktivitas mahasiswa terkonsentrasi pada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang berbasis minat dan hobi.
UKM ini, hasil pretelan NKK/BKK dari Dema. UKM dulunya kompartemen di struktur kepengurusan Dewan Mahasiswa (Dema).
Sebelas tahun kemudian, di 2019 Rektorat Unhas melalui WR 3, berinisiatif menghidupkan kembali BEM Unhas.
Namun upaya Prof Arsunan Arsin WR 3 Unhas ketika itu, diklaim lebih sekadar untuk memenuhi syarat pemilihan rektor (Pilrek) Unhas pada 2022 yang mewajibkan ada satu suara mahasiswa di Majelis Wali Amanat a(MWA), diwakili oleh BEM.
Hal ini sesuai statuta Unhas yang sudah PTNBH.
Pasca hajatan itu, BEM Unhas kembali hanya papan nama.
Klaim lain, diduga pejabat Unhas, tidak ingin wakil mahasiswa di MWA, legitimate. Takut kalau mahasiswa Unhas melek, menggunakan 1 suaranya di MWA itu untuk menyuarakan dan menyampaikan aspirasi mahasiswa di forum MWA.
Seperti wakil mahasiswa yang legitimate di MWA, bisa memaksa MWA menggelar rapat, guna MWA meminta Rektor Unhas segera menyekesaikan kasus-kasus pelecehan seksual di Unhas atau meminta Rektorat menghentikan rebutan jabatan di kalangan akademisinya, dan sebagaainya.
Dipastikan jika itu terjadi, karena mahasiswa Unhas tersadar akan hak suaranya di MWA, Rektorat Unhas akan panik, sepanik-paniknya.
Karena pejabat-pejabat Unhas menyebut BEM Unhas kerap buat kampus tidak tenang.
Meski dalam 2 tahun terakhir ini ada upaya menghidupkan kembali BEM, namun tidak terjadi.
Ada kelompok kerja (Pokja) lembaga mahasiswa yang terdiri dari para dosen muda Unhas, bertugas reaktivasi BEM, sudah dua tahun bekerja.
Tapi nyatanya, masih belum kelihatan hasilnya. Jadilah BEM Unhas tak ada bedanya dengan pemeo: adanya seperti tiada.
Nilai Strategis BEM
Rekayasa menggiring dan mengantar BEM Unhas menjemput ajalnya, jelas bukan hanya bertentangan dengan semangat reformasi, bahkan secara tidak langsung membunuh intelektualisme mahasiswa, meredam kritisme mahasiswa yang jadi watak asli mahasiswa.
Betapapun, mahasiswa sebagai agent of change, membutuhkan kanal yang terbuka dan bebas dalam melatih pengalaman akademik sekaligus leadershipnya.
Pasalnya, kita tidak hanya butuh mahasiswa yang cerdas secara akademik, namun juga punya tiga kapasitas, yaitu kemampuan berfikir kritis (critical thinking), menyelesaikan masalah (problem solving), dan jaringan (networking).
Bahkan tiga kapasitas ini yang paling dibutuhkan di era disrupsi kini dan masa mendatang.
Wadah itu hanya bisa melalui BEM sebagai sentra kegiatan organisasi dan kepemimpinan mahasiswa. Aktualisasi pendidikan di BEM punya nilai sangat strategis dibanding UKM, bahkan organisasi ekstra kampus.
Menggirin dan mengantar BEM menjemput ajalnya, hanya karena sering buat gaduh kampus, jelas alasan yang mengada-ada.
Betapa kegaduhan yang dibuat pun oleh BEM Unhas masih dalam batas dan rambu universitas.
Menghapus BEM Unhas karena agar rektorat tenang dan nyaman.
Nyatanya mereka bisa terjebak dalam ketenangan palsu, dimana rektorat terjebak dalam kekuasaan tanpa pengawasan. Hal ini berpotensi jadi korup, dan praktek kotor lainnya yang bisa saja terjadi di dalam kampus.
Bahkan hak-hak mahasiwa untuk dapatkan layanan pendidikan yang maksimal, termasuk mendapatkan wadah umtuk memupuk jiwa leadership mereka, bisa diabaikan seenaknya oleh Universitas.
Bila tanpa BEM yang mengktitisinya.
Skenario mengalihkan kritisisme mahasiswa Unhas pada UKM-UKM jelas bukan solusi. Karena orientasi dan basisnya berbeda dengan BEM, yang lebih berorientasi pada student government.
Rektorat bisa terjebak pada memberi obat bukan pada sumber penyakitnya.
Sebelum benar-benar BEM menemui ajalnya, sebaiknya pejabat-pejabat Unhas yang sekali lagi notabeme akademisi Unhas, menghentikan uapaya rekayasa itu.
Kembalikan BEM pada cita-cita awalnya.
Kembalila memberikan dukungan, baik dari finansial maupun pendampingan.
Demikian juga para akademisi, khususnya mantan aktivis kalau masih ada yang menjadi akademisi di Unhas, agar memberikan ruang dan peluang tumbuhnya minat dan motivasiswa berorganisasi dan berlembaga, agar kita Unhas tidak menghasilkan alumni yang cerdas secara akademik, tapi juga cerdas cendekia yang peka dan responsif menyambut dan menjawab segala tantangan peradaban.
Karena hanya dengan demikian, alumni Unhas direkeng peradaban. Kamase!(*)