Opini

Meretas Jejak Manhaj Nabawi: Setengah Abad Hidayatullah Untuk Indonesia Adil dan Beradab

Editor: Sudirman
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Irfan Yahya

Oleh: Irfan Yahya

Dosen Magister Sosiologi FISIP Unhas, Peneliti Puslit Opini Publik LPPM Unhas dan Aktivis Hidayatullah

TRIBUN-TIMUR.COM - Terwujudnya peradaban Islam adalah cita-cita mulia yang menginspirasi bagi setiap ummat Rasulullah Muhammad Saw dengan merujuk pada manhaj Nabawi.

Sebuah manhaj yang telah terbukti melahirkan ummat terbaik sepanjang sejarah kehidupan manusia dan sebaik-baik kurun yang pernah ada di muka bumi ini.

Manhaj Nabawi, yang diperkenalkan dan diwariskan langsung oleh Rasulullah Saw bersama para sahabatnya, meskipun perbedaan kondisi zaman yang
signifikan antara era Rasulullah Saw dan keadaan saat ini, hakikatnya tetap tak berubah.

Faktor utama dalam konteks ini adalah manusia sebagai aktornya, yang sama pada zaman Nabi Adam hingga zaman Rasulullah Muhammad Saw, dan seterusnya ke masa kini, memiliki akal, nurani, dan nafsu yang sama.

Manhaj Nabawi merupakan konsep gerakan yang dibangun di atas fondasi keimanan yang teguh pada Aqidah Tauhid, dengan kalimat utama "Laa ilaaha illallah".

Tauhid sebagai falsafah hidup, menjadi jawaban menyeluruh terhadap pertanyaan umat manusia mengenai hakikat keberadaan alam semesta dan manusia.

Peradaban Islam dibangun di atas prinsip Tauhid, mengakui keesaan Allah Swt sebagai pencipta dan penguasa alam semesta.

Manhaj Nabawi juga mencakup ideologi Islam sebagai keyakinan pada kebenaran dan keunggulan Islam sebagai sistem kehidupan, solusi terbaik yang dianugerahkan oleh Allah Swt bagi umat manusia hingga akhir zaman.

Falsafah Tauhid mengkonstruksi kesadaran akan eksistensi, keesaan, dan kekuasaan Allah Swt dalam penciptaan serta pengaturan alam semesta, termasuk manusia di dalamnya.

Ideologi Islam melibatkan keyakinan pada kebenaran nilai, ajaran, dan hukum Allah Swt yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Saw.

Mengakui kebenaran Islam berarti mengakui kebenaran Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah Saw sebagai satu-satunya kebenaran di dunia ini.

Keyakinan semacam itu melahirkan cita-cita besar untuk menegakkan Islam sebagai peradaban dunia.

Dalam Manhaj Nabawi, keyakinan utama setelah Tauhid adalah bahwa Rasulullah Muhammad Saw diutus oleh Allah Swt sebagai Rasul terakhir.

Misi yang diemban Rasulullah Saw adalah misi besar, yaitu mengeluarkan umat manusia dari kejahiliyaan menuju kehidupan mulia.

Beliau diutus sebagai Rahmatan lil ‘aalamiin, rahmat bagi seluruh umat manusia.

Sebagai penyempurna akhlaq, selain mengajarkan Tauhid, keyakinan pada kebenaran dan keunggulan Islam, juga mengkonstruksi alam bawah sadar menuntun lahirnya cita-cita besar untuk menguasai dan mengatur peradaban dunia, menjadi bagian integral dari manhaj Nabawi.

Hidayatullah yang saat ini sudah setengah abad berkiprah di persada bumi Nusantara ini dengan mengusung dua mainstrem gerakan yakni Tarbiyah dan Dakwah, dengan teguh meyakini bahwa merujuk kepada pola dasar Sistematika Wahyu adalah kunci menuju keutuhan ajaran Islam.

Dalam visi Hidayatullah, wujud Peradaban Islam bukan sekadar slogan, melainkan manifestasi nyata dari ajaran Islam yang utuh berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Pemahaman Ahlussunah wal Jama'ah menjadi landasan kokoh, menggambarkan Islam sebagai rahmatan lil'alamin, rahmat untuk seluruh alam.

Hidayatullah yang kini telah merambah ke lebih dari 370 kabupaten/kota di seluruh Indonesia bersandar pada basis kesadaran bahwa pencapaian tersebut memerlukan jihad besar di segala bidang.

Membangun Peradaban Islam bukanlah tugas mudah, namun harus dimulai dari level pribadi, keluarga, dan masyarakat secara berjama'ah dengan menggagas sebuah lingkungan yang kondusif berbasis kampus.

Pemikiran ini menempatkan Hidayatullah sebagai Al Harakah Al Jihadiyah Al Islamiyah, gerakan Islam yang berkomitmen untuk berjuang dengan penuh ketabahan
dan kesungguhan.

Bagi Hidayatullah meyakini bahwa salah satu aspek kunci dalam perjalanan menuju peradaban yang utuh adalah membangun jama'ah yang solid. Dalam konteks ini, kepemimpinan yang kuat, didukung oleh prinsip syura, menjadi esensial.

Hidayatullah memandangnya sebagai sebuah keniscayaan, dan tanpa menafikkan kondisi obyektif di sekelilingnya yang telah berdiri berbagai jama'ah lainnya dengan tujuan yang sama maka Hidayatullah menegaskan diri sebagai Jama'atun Minal Muslimin, sebuah sistem sosial yang memegang teguh prinsip Al Wasathiyah dalam membangun peradaban Islam.

Demikianlah wujud eksistensi Jatidiri Hidayatullah yang hadir bukan hanya sekadar pedoman organisasi, melainkan juga suatu arah dalam meretas jejak peradaban Islam berbasis manhaj Nabawi.

Melalui kesungguhan dalam menjalankan manhaj Nabawi, mengkosolidasi dan mengkapitalisasi kekuatan dalam jihad besar, dan membangun jama'ah yang solid, Hidayatullah
bersama elemen ummat dan bangsa lainnya bergandeng tangan berkomitmen untuk mewujudkan cita-cita agung tersebut.

Dengan keyakinan yang bulat, Hidayatullah mengemban tanggung jawab suci untuk membawa cahaya Islam menerangi langkah umat manusia menuju peradaban yang adil
dan sejahtera.

Eksistensi Peradaban Islam, seperti yang dipahami oleh Hidayatullah, adalah sebuah pencapaian kompleks yang tidak hanya melibatkan aspek keagamaan saja, tetapi juga memiliki dimensi sosial yang sangat penting.

Dalam perspektif sosiologi, mencapai tujuan ini melibatkan interaksi dan dinamika kompleks antara individu, kelompok, dan struktur sosial.

Transformasi sosial yang mengakar kuat pada seluruh aspek kehidupan memerlukan partisipasi aktif dari masyarakat.

Hidayatullah memandang masyarakat sebagai entitas yang berperan penting dalam membangun peradaban.

Dalam konteks ini, konsep manhaj Nabawi menjadi pedoman bagi individu dan sistem sosial dalam membentuk nilai-nilai sosial yang inklusif, mengkosolidasi
potensi masyarakat, dan menciptakan struktur sosial yang adil dan beradab.

Jihad besar yang diusung oleh Hidayatullah tidak hanya mengacu pada makna perang fisik saja, tetapi juga pada pertempuran ide dan nilai.

Memperjuangkan keadilan, kesejateraan, adalah bagian integral dari perjalanan menuju Peradaban Islam.

Dalam konteks ini, masyarakat memiliki peran aktif dalam mengidentifikasi ketidakadilan sosial, merancang solusi kolaboratif, dan menciptakan
lingkungan yang mendukung perkembangan manusia secara holistik.

Selain itu, pembentukan jama'ah yang solid dan kepemimpinan berbasis syura menjadi aspek penting.

Keberadaan struktur sosial yang demokratis, di mana keputusan diambil melalui musyawarah dan konsensus, memberikan ruang bagi partisipasi aktif masyarakat.

Dalam konteks ini, jama'ah menjadi wadah bagi individu untuk berinteraksi, berbagi ide, dan mengorganisir aksi sosial yang dapat menciptakan perubahan yang signifikan dalam masyarakat.

Untuk memahami bagaimana Hidayatullah mencapai visi Membangun Peradaban Islam, dapat kitameniliknya dengan pendekatan tiga asas fundamental dalam konstruksi sosial yakni: internalisasi, objektivasi, dan eksternalisasi. Asas-asas ini bergerak secara simultan dan saling terkait, membentuk realitas sosial yang kita alami.

Proses internalisasi, terjadi ketika individu atau kelompok menginternalisasi norma, nilai, dan keyakinan yang ada di masyarakat melalui proses sosialisasi.

Dalam konteks Hidayatullah, internalisasi terjadi ketika seluruh kader, jama'ah dan simpatisan Hidayatullah mampu menginternalisasi nilai-nilai manhaj Nabawi dan visi Peradaban Islam secara sadar ke dalam pola pikir, sikap, dan perilaku mereka sehari-hari.

Proses ini menciptakan kesinambungan dalam mengembangkan realitas sosial yang diinginkan, karena nilai-nilai tersebut telah menjadi bagian integral dari individu setiap kader, jama'ah dan simpatisan Hidayatullah.

Proses objektivasi, merujuk pada hasil dari proses eksternalisasi yang kemudian menjadi nyata dan eksis di luar individu atau kelompok tersebut.

Dalam konteks Hidayatullah, objektivasi terjadi ketika ide-ide dan nilai-nilai manhaj Nabawi yang diartikulasikan melalui aktivitas sosial menjadi
bagian dari struktur sosial yang lebih luas.

Misalnya, merumuskan pedoman dasar organisasi, pendirian lembaga-lembaga pendidikan, kesejahteraan sosial, dan organisasi dakwah oleh Hidayatullah adalah contoh objektivasi dari keyakinan dan nilai-nilai tersebut.

Objektivasi menciptakan institusi-institusi yang berperan dalam membentuk sistem sosial masyarakat dan memperkuat realitas sosial yang diinginkan.

Proses eksternalisasi, merujuk pada tindakan individu atau kelompok dalam menciptakan dan mengekspresikan ide, nilai, dan norma dalam bentuk aktivitas sosial.

Dalam konteks Hidayatullah, eksternalisasi terjadi ketika kader, jama'ah dan simpatisan Hidayatullah di dalam gerakan Hidayatullah mampu mengartikulasikan keyakinan mereka terhadap manhaj Nabawi dan visi Peradaban Islam melalui berbagai aktivitas yang melingkupi dua mainstrem Hidayatullah yakni Tarbiyah dan Dakwah.

Melalui eksternalisasi, kader, jama'ah dan simpatisan Hidayatullah mengubah keyakinan ke dalam tindakan nyata yang tercermin dalam kegiatan-kegiatan mereka di
tengah-tengah masyarakat.

Dengan menggunakan pendekatan tiga proses fundamental ini, kita dapat melihat bagaimana keyakinan dan nilai-nilai dalam visi Peradaban Islam yang dianut oleh Hidayatullah
dieksternalisasikan melalui berbagai aktivitas sosial, menjadi nyata melalui pembentukan institusiinstitusi, dan akhirnya diinternalisasikan oleh seluruh kader, jama'ah dan simpatisan Hidayatullah yang terlibat menciptakan realitas sosial yang konsisten dengan visi tersebut.

Proses ini mencerminkan dinamika kompleks dari konstruksi sosial dalam mencapai tujuan Peradaban Islam yang diinginkan.

Dengan demikian, setengah abad Hidayatullah berkiprah di bumi Nusantara ini tetap teguh dalam keyakinannya bahwa Manhaj Nabawi adalah landasan kokoh yang mampu
memimpin dan menuntun perjalanan menuju kejayaan Islam yang autentik dan tetap relevan di segala kondisi dan perubahan, termasuk di era globalisasi dan digitalisasi saat ini. Wallahualam.

Berita Terkini