Oleh:
Aswar Hasan
Dosen FISIP di Departemen Ilmu Komunikasi Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Pendidikan kita ternyata belum menjadi tempat persemaian generasi yang berintegritas.
Hal itu terungkap dari hasil Survei Penilaian Integritas pendidikan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka untuk mengetahui efektivitas pendidikan antikorupsi.
Berdasarkan rilis Harian Kompas (5 Juli 2023) terungkap bahwa perilaku yang berintegritas belum menjadi pembiasaan di dunia pendidikan.
Bahkan, semakin tinggi jenjang pendidikan, integritas yang tercermin dari karakter, ekosistem, dan kepatuhan justru kian rendah.
Berdasarkan SPI pendidikan yang dilakukan di 34 provinsi para 2022 indeks integritas pendidikan nasional berada di skor 70,40 yang menunjukkan berada di level 2 dari skala tertinggi pada level 4 yang berarti dari sisi peserta didik, perilaku yang berintegritas belum menjadi pembiasaan, dimana ekosistem belum mendukung dalam menginternalisasikan nilai integritas dan belum bersinergi dengan pimpinan satuan pendidikan dan peran orang tua.
Di samping itu, dari segi tata kelola, upaya jejaring pendidikan untuk meminimalkan korupsi, belum memadai, sebagaimana diungkapkan Wawan Wardiana, Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK.
Yang lebih memiriskan lagi, karena indeks integritas pendidikan tinggi (PT) ternyata lebih rendah (67,69) dibanding indeks integritas dari SD,SMP, dan SMA/SMK sederajat (74,49).
Rendahnya indeks integritas di PT tersebut diantaranya disebabkan banyak perilaku akademi yang tidak jujur dan belum sepenuhnya bisa memberi keteladanan. Selain itu, masih terdapat pelaporan keuangan yang tidak transparan.
Kondisi miskin integritas tersebut, selaras dengan pernyataan Mahfud MD dalam acara dies natalis ke-54 Universitas Malikussaleh, di Aceh yang menyatakan, bahwa: “total jumlah koruptor di Indonesia, paling banyak di antaranya adalah lulusan S1 atau sarjana, sejumlah 1.044 orang, dari 1.200 orang koruptor. Artinya, terdapat 87 persen berpendidikan tinggi yang koruptor (detik news, 12 Juni 2023).
Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan telah menjadi program strategis yang secara resmi diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan mulai tahun 2023, SPI Pendidikan telah menjadi salah satu Program Prioritas Nasional yang berkaitan dengan Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan.
Survei Penilaian Integritas Pendidikan atau disebut juga SPI Pendidikan adalah survei yang dilakukan sebagai upaya untuk memetakan kondisi integritas pendidikan, baik pada lingkup peserta didik maupun ekosistem pendidikan yang memengaruhinya seperti tenaga pendidik, pimpinan, termasuk aspek pengelolaan.
Hasil pemetaan melalui SPI Pendidikan tersebut menjadi penting, karena bisa dijadikan dasar dan pertimbangan dalam program peningkatan dan pengembangan upaya implementasi pendidikan karakter dan budaya antikorupsi yang lebih tepat sasaran. Sekaligus sebagai upaya membendung gejala atau fenomena korupsi yang mulai membudaya.
Krisis Integritas
Level integritas pendidikan kita yang cuma sampai ditingkat level dua, terutama level integritas Perguruan Tinggi yang rentan jatuh ke level integritas satu ( terendah) karena mengalami penurunan sejak dari jenjang SD (79,02), SMP/MTs (78,95), SMA/SMK (69,34), hingga ke PT (67,69) adalah sebuah ancaman serius bagi kemaslahatan bangsa ini ke depan jika tidak ada upaya yang serius untuk membenahinya sejak dari sekarang, khususnya pembenahan di tingkat Pendidikan Tinggi (dengan level trend integritas yang sangat memprihatinkan).
Integritas pendidikan suatu bangsa merupakan persoalan vital yang strategis, karena bisa memengaruhi sektor kehidupan lainnya, seperti politik, yang bisa berujung pada persoalan kepemimpinan bangsa.
Setidaknya, ada 5 (lima) faktor penyebab pemicu rendahnya level integritas suatu bangsa, yaitu: Pertama, Miskinnya ketauladanan di hampir semua sektor kehidupan berbangsa terutama di sektor pendidikan.
Guru dan dosen hanya sebatas mengajar hingga lulus di sekolah tanpa mendidik hingga lulus dalam berkehidupan.
Boleh jadi karena para guru dan dosen mengajar karena sekadar orientasi materi akibat pengaruh prakmatisme kehidupan. Idealisme sebagai guru dan dosen telah ikut terkikis oleh gaya hidup yang semakin materialistis.
Lebih fatal lagi, karena dilevel kepemimpinan, telah merebak secara nasional tentang kebohongan kepemimpinan yang mengkadali publik dengan harapan yang ternyata palsu (janji-janji politis yang tak dipenuhi).
Masalah ketidakjujuran tersebut adalah salah satu akar dan pemicu terjadinya krisis integritas Kedua, implementasi sistem yang tidak konsisten sehingga output tidak sesuai perencanaan dari input yang di harapkan, karena terjadi kesalahan pada proses.
Pada sistem pendidikan kita misalnya yang sesungguhnya dari aspek kurikulum yang senantiasa di evaluasi dari kabinet (menteri) ke kabinet berikutnya, sudah relatif baik dan nyaris sempurna namun, hasilnya masih tetap tidak membuahkan perubahan yang signifikan, karena proses pendidikannya (material SDM pendidiknya dari aspek moral dan intelektual) yang tidak berubah.
Ketiga, Sistem pengawasan yang acapkali bocor dan tidak berjalan sebagaimana seharusnya, sehingga sistem yang ada tidak berjalan sebagaimana yang telah digariskan.
Bahkan, berkembang istilah justru pengawas yang perlu diawasi. Keempat, Transparansi yang hanya retorika tanpa bukti. Negara telah dilengkapi dengan undang-undang tentang keterbukaan informasi publik No 14 tahun 2008.
Namun, diantara kasus yang paling sering dan banyak dipermasalahkan adalah kasus Bansos Sekolah belum lagi kasus pelecehan sexual yang kerap terjadi di Perguruan Tinggi, hingga Rektornya tertangkap oleh KPK karena korupsi.
Kelima, hukum masih tergadai (terbeli). Dimana praktik penegakan mulai dari pembuatannya bisa di beli atau pun di “Order” kata Menkopolhukam Mahfud MD: “Problem kita sekarang dalam membuat aturan hukum itu sering kacau balau.
Ada hukum yang dibeli, pasal-pasalnya dibuat karena pesanan, itu ada," ujar Mahfud dalam acara Gerakan Suluh Kebangsaan (CNN,19/12-2019).
Malapetaka Mengancam
Jika suatu negara mengalami krisis integritas, itu bisa memiliki dampak serius dan berbahaya dalam berbagai aspek diantaranya; hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi-institusi negara, termasuk pemerintah, sistem peradilan, dan lembaga pendidikan.
Kepercayaan yang rusak dapat menyebabkan ketidakstabilan sosial dan politik, serta menghambat pembangunan dan kemajuan negara.
Akibat krisis integritas tersebut, juga rentan mengakibatkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang memperlebar kesenjangan antara kaya dan miskin. Ketika integritas terkompromi, korupsi dan kecurangan dapat mempengaruhi alokasi sumber daya yang adil dan merata.
Hal ini dapat menyebabkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin memperlebar kesenjangan antara kelompok-kelompok masyarakat, memperburuk kemiskinan, dan merugikan kelompok yang lebih rentan.
Kesenjagan sosial suatu bangsa merupakan bahaya laten yang sewaktu- waktu bisa termanisfestasi dalam bentuk kerusuhan sosial yang bisa berefek destruktif pada sektor kehidupan lainnya.
Olehnya itu, harus bisa dicegah dengan sedini mungkin agar krisis integritas yang menjadi ancaman masa depan bangsa tidak terjadi.
Sayangnya, Revolusi Mental yang pernah dideklarasikan Presiden Jokowi di masa awal kepemimpinannya sekitar 10 tahun yang lalu, kini tidak terdengar lagi seolah hilang bersama tiupan angin pembangunan fisik yang sewaktu- waktu bisa rontok karena rusaknya mental bangsa ini yang berawal dari terjadinya krisis integritas.
Wallahu a’lam Bishshawab.(*)