Dengan praktik seperti ini berpeluang muncul match fixing atau pengaturan skor dalam sebuah pertandingan.
"Jumlahnya sama dengan didapatkan klub. Juara tidak dapatkan apa-apa. Jadi wajar kemudian kalau banyak klub bermain untuk dapatkan uang dari hal yang tidak benar, seperti match fixing," ujar Akmal.
Hal ini karena mereka butuh dana untuk menutupi biaya kompetisi. Setiap klub diperkirakan keluarkan uang Rp 30-Rp 50 miliar per musim, sementara pemasukan hanya Rp 5,5 miliar.
"Saya kira hanya orang gila yang mau urus sepak bola Indonesia kalau setiap tahun harus rugi karena tidak dapat pemasukan maksimal dari kompetisi. Ini harus dibenahi di kompetisi kita," tegasnya. (*)