Oleh:Mahmud Suyuti
Katib Jam’iyah Khalwatiyah
TRIBUN-TIMUR.COM - Takjil seringkali diartikan menu buka puasa, padahal arti sebenarnya bukan demikian.
Takjil dalam bahasa Arab dari kata ‘ajala-ta’jilan yang berarti bersegera dan mempercepat sesuatu urusan.
Takjil bukan berarti makanan atau minuman untuk berbuka puasa, tetapi yang umum dipahami takjil adalah menu buka yang sering dijumpai di pinggiran jalan terutama saat menjelang azan magrib berkumandang sebagai tanda akan masuknya waktu berbuka puasa.
Takjil yang arti sebenarnya bersegera atau mempercepat, maka jika takjil yang dipahami sebagai menu buka puasa tentu seharusnya takjil tersebut segera dijual, segera dibeli, segera dibagi, segera tersalurkan atau dipercepat untuk diberikan kepada yang akan berbuka, jangan ditunda-tunda. Itulah kira-kira makna takjil yang tepat.
Takjil yang dipahami secara umum bila dilihat dari bentuk dan macamnya seperti es cendol, kue lapis, onde-onde, jalangkote, kolak, pisang ijo/pallubutung, barongko dan selainnya seharusnya cepat sampai di tangan bagi yang berpuasa, jangan sampai telat yang seharusnya segera dicicipi saat tiba azan Magrib.
Beda dengan mencicipi menu sahur justru diperlambat sampai tiba azan Subuh. Makan sahur dianjurkan untuk tidak dipercepat tetapi diperlambat sebagaimana firman Allah, makanlah dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan hitam, yaitu fajar (QS.al-Baqarah/2: 17).
Jadi batas santap sahur adalah saat masuknya fajar bertepatan saat tiba azan subuh.
Namun demi kehati-hatian maka diatur dalam fikih tentang waktu imsak karena sahur memiliki keistimewaan sebagaimana takjil saat berbuka.
Saat masuk waktu imsak, maka puasa dijalankan sepanjang hari sesuai ajaran syariat, yakni menahan diri dari makan dan minum serta berhubungan biologis dengan pasangan sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Itulah yang disebut puasa zahir.
Selain itu, menahan diri dari sifat dan sikap mazmumah (buruk) seperti dusta, hasad dengki, dan perbuatan tercelah lainnya disebut puasa batin.
Puasa zahir disebut pula puasa syariat, sedangkan puasa batin disebut puasa hakikat.
Puasa zahir atau syariat merupakan puasa orang awam atau muslim kebanyakan ini, ukurannya adalah fiqih.
Jika syarat dan rukunnya telah ditepati, sudah sah dan tidak salah sesuai dengan standar fikih yang diukur dengan kapasitas orang awam.
Sedangkan puasa batin, merupakan puasa orang khusus yang tidak sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga menjaga akhlak dan perilakunya sehari-hari, sehingga bisa meningkat menjadi puasa yang disebut khawasul khawas.
Puasa batin yang juga khawasul khawas yakni puasa sangat khusus adalah puasanya orang-orang sufi, para auliya, dan para nabi, yang tidak cukup hanya dengan memenuhi ketentuan fikih, tetapi juga menjaga konsistensi dalam mengontrol hati dan pikiran untuk dzikrullah secara terus menerus, seoptimal mungkin lidahnya dipenuhi dengan kalimat-kalimat pujian, subhanallah dan tasbih untuk Allah, shalawatan dan tahlil untuk Rasulullah saw, khatam al-Qur’an, yakni menammatkan bacaan Al-Qur’an 30 juz di bulan Ramadhan.
Bagi kaum khawasul khawas, puasa bukan sekedar tidak makan-minum pada siang hari tetapi lebih mengutamakan mengurangi porsi makan malam di bulan Ramadan.
Bahkan mereka juga mengurangi tidur di siang hari dan mengisinya dengan berbagai amalan seperti yang disebutkan tadi ditambah dengan qiyamul lail, yakni salat tarwih secara khusyu’ terutama pada malam ganjil ke-21,23,25 dan 27 menyambut laylatul qadri, suatu malam yang setara dengan seribu bulan.
Pada malam-malam itu pula mereka tidak lupa makan sahur sesuai perintah Nabi SAW bersabda, sahur adalah makanan yang berkah janganlah kalian tinggalkan walaupun hanya seteguk air karena Allah dan Rasulnya memberi shalawat kepada mereka yang makan sahur (HR. Ahmad).
Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barokah (HR Bukhari Muslim).
Sahur bersama yakni makan sahur berjamaah sebaiknya dilaksanakan pula di intern keluarga sebagaimana takjil buka bersama yang lebih umum dilaksanakan secara meriah, ada tausiah agama sebelum berbuka, zikiran dan doa berjamaah sebelum mencicipi takjil yang dihidangkan.
Buka bersama sudah lazim dan memasyarakat, namun sahur bersama secara berjamaah sepertinya belum dikenal banyak orang, padahal sahur berjamaah seharusnya pula disyiarkan sebagaimana di intern Jam’iyah Khalwatiyah lebih mengutamakan sahur bersama ketimbang berbuka bersama.
Sahur bersama di Jam’iyah Khalwatiyah selama bulan Ramadan setiap tahunnya terasa lebih khusyuk, penuh khidmad, mereka berkumpul mendengar tausiah guru/mursyid mulai jam 00.00 dini hari, dilanjutkan dengan tadarrus al-Qur’an, zikir dan doa sampai masuk waktu untuk makan sahur berjamaah dan mengakhirinya imsak saat akan azan subuh untuk lanjut salat subuh berjamaah.
Waktu sahur boleh diperlambat sampai masuknya azan Subuh sementara takjil dipercepat atau disegerakan bertepatan waktu berbuka, jangan terlambat, jangan menunda-nunda agar salat Magrib dapat pula dilaksanakan sesuai waktu yang tepat.
Hadis ke-561 riwayat Imam Malik menyebutkan, La yazaalunnasa bikhairin ma’ajalul fitrah (manusia akan tetap pada kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka).
Dengan begitu, berbuka pada hakikatnya mengajak kita untuk bersegera berbuat kebajikan.
Hakikat takjil adalah menuai amal saleh dengan segera melalui ibadah Ramadan sebagai momen memperbanyak kebaikan karena semua pahala di bulan suci ini dilipatgandakan. Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Thariq.(*)