TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Larangan impor pakaian bekas yang ditetapkan pemerintah mendapatkan tanggapan tanggapan yang beragam.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Marsuki DEA menilai, impor dan bisnis pakaian bekas di satu sisi merugikan, baik secara finansial, ekonomi dan bahkan secara diplomasi negara.
Namun dari sisi lain, kebijakan ini menjadi problematika tersendiri bagi sekelompok masyarakat.
Terutama pihak yang sementara menggeluti bisnis tersebut akibat masih kesulitan menemukan jalan keluar kegiatan usaha sebagai akibat pandemi.
Menurut Prof Marsuki, dari sisi bisnis tekstil formal, pakaian bekas merupakan barang impor yang tidak diproduksi di dalam negeri.
Sehingga dalam prosesnya tidak memiliki dampak terhadap penggunaan sumber daya faktor produksi, seperti melibatkan tenaga kerja, mesin, bahan baku dan modal dalam negeri.
Olehnya, ia menilai impor pakaian bekas seharusnya dibatasi.
“Dari perspektif tersebut berarti impor pakaian bekas seharusnya dibatasi agar dapat meningkatkan pemberdayaan produk pakaian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan dengan menggunakan produksi pakaian negara sendiri,” kata Prof Marsuki, Sabtu (25/3/2023).
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FIB) Unhas ini menilai, dengan pembatasan tersebut akan membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan, mengurangi pengangguran dan kemiskinan.
Kemudian akan berdampak pada peningkatan pendapatan negara.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa maraknya impor pakaian bekas tersebut bisa dikategori ilegal.
Baca juga: Pengusaha Cakar di Bulukumba Minta Pemerintah Tinjau Ulang Larangan Bisnis Pakaian Bekas Impor
Baca juga: Polisi Selidiki Keberadaan Gudang Pakaian Bekas Impor Ilegal di Barru
Karena proses masuk prinsipnya tidak memperoleh pendapatan dan tidak ada biaya yang dipungut oleh negara, baik dari sisi bea cukai apalagi pajak.
Akibat bisnis dari thrifting tersebut, kata dia, secara tidak langsung akan berdampak buruk pada diplomasi negara.
Hal itu dikatakannya karena barang bekas tersebut telah tercatat di negara asalnya sebagai barang yang dikirim untuk kepentingan kemanuasiaan di negara-negara yang dianggap mengalami kesulitan atau masalah.
“Maka dengan menggunakan barang impor tersebut, berarti citra negara kita akan turun sebab karena dinilai sebagai kelompok negara inferior, apalagi justru pakaian bekas tersebut diperjual belikan,” jelas Prof Marsuki.