Oleh: M Qasim Mathar
Pendiri Pesantren Matahari
TRIBUN-TIMUR.COM - Sekitar 7 jam terbang dengan pesawat Asiana dari bandar udara (bandara) internasional Soekarno Hatta Jakarta ke bandara internasional Incheon, terletak 30 mil di sebelah barat Seoul, ibu kota Korea Selatan.
Berangkat jelang tengah malam WIB, tiba pagi di Korea Selatan, negeri yang dijuluki sebagai 'Negeri Ginseng'.
Ginseng memang tumbuh dan berkembang baik di negeri itu.
Sejak dari Jakarta pakaian musim dingin tidak dibagasikan, tapi dibawa ke kabin.
Agar mudah melengkapi pakaian yang sudah membungkus badan sejak berangkat.
Februari 22 memang masih musim dingin di Korea Selatan.
Ke tempat pengambilan bagasi sudah terasa iklim yang dingin itu. Kami sudah diberitahu bahwa suhu di luar bandara .... ⁰C.
Saya lihat istri, anak-anak, para menantu dan cucu-cucu sudah terbungkus dari kepala hingga kaki dengan pakaian dingin yang bagus.
Ini tentu pengalaman unik dari antara mereka baru pertama kali ke luar negeri. Dan sangat unik untuk pertama kali juga di negeri masih bersalju.
Sangat menarik. Sudah sangat ingin keluar bandara untuk tahu rasa Korea.
Begitu kaki melangkah keluar gerbang bandara,... "Wow,... uuhh...", teriakan anak-anak tertahan oleh hembusan angin suhu dingin di bawah 0⁰ Celcius menerpa bagian wajah yang tidak terbungkus.
Kelopak mata dipaksa sipit oleh hembusan angin dingin bagai batu es yang ditempelkan ke pipi. Mereka bergegas ke bis.
Bis tidak ke hotel. Tapi ke Elysian Gangchon Ski Resort, wilayah bersalju.
Amboi, suasana begitu sensasional bagi banyak dari antara kami ketika untuk pertama kali menyentuh dan bermain di tengah salju.
Naik kereta gantung dan menyaksikan di bawah sana orang-orang berski berselancar di atas salju, sungguh pemandangan yang mengasyikkan.
Berpuas-puas saling melempar salju membuat lelah juga dan lapar.
Kami berangkat untuk makan siang.
Hidangan Dakgalbi adalah makan siang saat itu.
Malamnya kami makan frief chicken. Ayam ginseng atau Samgyetang, Kkongchigui atau ikan bakar, Shabuqi, Suki, Ramyeon/Ramyun, Won Jo Samgyetang, Bulgogi ...
Itulah nama-nama hidangan makan siang dan malam, yang aku dengar dari anak-anak.
Jadi, maaf kalau salah tulis. Bagi kami semua, yang penting makanan dan minuman itu halal dan sehat.
Saya, khususnya, bukan penganut mazhab fikhi yang perlu memikirkan: apakah periuk dan kuali tempat memasak semua hidangan yang kami makan dipakai juga memasak yang "lain"?
Kami sudah sangat menghormati bahwa pramugari pesawat Asiana, di waktu berangkat dan kembali, selalu memastikan bahwa yang mereka hidangkan adalah makanan orang Muslim.
Begitu juga selama di Korea Selatan, pemandu lokal sudah memberitahu kami bahwa makan minum adalah yang halal.
Dia juga memandu anak-anak ketika mau belanja camilan, ini yang halal, itu tidak boleh.
Bagiku, semua hidangan kunikmati.
Warung kopi mudah didapat, selain di kamar hotel juga tersedia.
Bedanya, di hotel teh celup dan kemasan kopi tanpa tersedia gula.
Di warung kopi, gula tersedia dan gratis bagi yang mau.
Orang Korea menjaga kesehatan dengan cara tidak perlu makan gula keseringan.
Rombongan senang berkunjung ke tempat pengolahan ginseng, pengolahan rumput laut, pengolahan batu mutiara, perpustakaan di tengah keramaian mal, dan melihat kemajuan bangsa Korea lainnya.
Di tengah "Negeri Ginseng" itu, Mesjid "Allahu Akbar" di Seoul Central Mosque, tampak megah di tengah mayoritas bukan-Muslim.
Di mesjid itulah kami berpuas-puas berwuduk dengan air dan memakai toilet berair.
Di semua toilet dan restroom, selain di hotel, hanya ada tissu untuk dipakai bersih-bersih setelah, misalnya, buang air kecil.
Ada baiknya, bila kita selalu membawa tissu basah.
Maka, mesjid "Allahu Akbar" mengingatkan kami ke Tanah Air, yang airnya berlimpah.
Bukan hanya untuk mandi tapi juga untuk bersih-bersih "yang lain"! (*)