TRIBUN-TIMUR.COM - Nasib terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J, Bharada Elizer alias Bharada E akan ditentukan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Majelis Hakim akan membacakan vonis terdakwa kasus pembunuhan berencana Yosua Hutabarat, Richard Eliezer pada 15 Februari mendatang.
Sebelumnya, Richard Eliezer dituntut 12 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum.
Jaksa menyakini Eliezer terlibat dalam pembunuhan berencana dan menembak langsung Yosua.
Saat menyampaikan nota pembelaannya atau pleidoi, Richard Eliezer membacakan sejumlah poin salah satunya merasa diperalat oleh Ferdy Sambo.
Penasihat Hukum Richard Eliezer, Ronny Talapessy menyayangkan tuntutan jaksa pada kliennya.
Harusnya keberanian Eliezer menjadi Justice Collaborator dijadikan momentum penegakan hukum yang berkeadilan.
Dukungan untuk Eliezer datang dari Aliansi Akademisi Indonesia yang mengirimkan dokumen Amicus Curiae atau Sahabat Pengadilan ke PN Jakarta Selatan.
Aliansi menyebut Eliezer berperan membuka kasus ini.
Selain itu, terungkap penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Ferdy Sambo.
Mulai Senin 13 Februari sampai Rabu 15 Februari, publik akan melihat bagaimana Majelis Hakim menjatuhkan vonis buat kelima terdakwa pembunuhan berencana Yosua.
Pihak PN Jakarta Selatan menyatakan pengamanan sidang akan menjadi perhatian utama.
Pihak PN Jakarta Selatan juga memastikan tidak ada perbedaan dalam penyiapan persidangan terdakwa Sambo, Putri, Ricky, Kuat maupun Eliezer.
Mengantisipasi banyaknya pengunjung sidang, pihak PN Jakarta Selatan akan membatasi jumlah orang yang masuk ke ruang sidang.
Masyarakat bisa menyaksikan jalannya sidang lewat siaran televisi atau media streaming.
Bunuh Diri
Majelis hakim dinilai perlu mempertimbangkan pengorbanan salah satu terdakwa Barada E yang sudah melakukan misi "bunuh diri" dengan mengungkap skenario di balik kasus itu.
Apalagi Richard adalah satu-satunya saksi yang dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta mengajukan permohonan sebagai saksi pelaku atau justice collaborator dalam kasus itu.
Di sisi lain, karier Richard di Polri juga terancam akibat perkara itu.
Maka dari itu hakim dinilai bisa menghargai pengorbanan Richard dengan memberikan vonis ringan.
"Memang ini laksana sebuah misi bunuh diri, tapi paling tidak Eliezer sudah menunjukkan, karena paling tidak bagi dia, kesetiaan pada sumpah jabatan, adalah jauh lebih tinggi, jauh lebih luhur, ketimbang kesetiakawanan yang menyimpang," kata ahli psikologi forensik sekaligus peneliti ASA Indonesia Institute, Reza Indragiri Amriel, dalam tayangan program Kompas Petang di Kompas TV, seperti dikutip pada Minggu (12/2/2023).
Menurut Reza, keberanian Richard dalam mengungkap skenario buat menutupi kasus pembunuhan terhadap Yosua patut dipuji dan diganjar dengan hukuman yang ringan.
Sebab jika Richard tidak membeberkan hal yang dia ketahui, maka kemungkinan kebenaran di balik kasus itu tak pernah terungkap.
"Saya menganalogikan status justice collaborator ini sebagai whistleblower, bahwa orang yang tahu persis tentang segala aib, segala kesalahan, segala penyimpangan di dalam organisasi akhirnya muncul untuk bersuara kepada publik," ucap Reza yang juga merupakan dosen psikologi forensik dan manajemen konflik di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Reza mengatakan, perbuatan Richard yang melaksanakan perintah atasannya, Ferdy Sambo, dengan menembak Yosua tidak bisa dibenarkan.
Akan tetapi, kata Reza, keberanian dan kesetiaan Richard dalam memegang sumpah jabatan dan membongkar kasus itu diharap bisa menyentuh majelis hakim supaya memberi hukuman seringan mungkin.
Selain itu, jika Richard dijatuhi hukuman penjara yang ringan atau maksimal 2 tahun penjara maka kariernya sebagai anggota Brimob Polri kemungkinan masih bisa diselamatkan.
"Dan kesetiaan pada sumpah jabatan itulah yang membuat semua berharap bahwa nantinya hakim akan memberikan apresiasi dengan hukuman maksimal dua tahun saja," papar Reza.
"Kenapa dua tahun, karena sudah ada preseden Kapolri mengatakan kalau ada anggota Polri yang terlibat pidana dan hukumannya di atas dua tahun akan dipecat dengan tidak hormat," lanjut Reza yang pernah menjadi saksi yang meringankan untuk Richard dalam persidangan beberapa waktu lalu.
Dalam kasus pembunuhan berencana itu terdapat 5 terdakwa, yakni Richard Eliezer (Bharada E), Ferdy Sambo, Putri Candrawathi (istri Sambo), Ricky Rizal atau Bripka RR, dan Kuat Ma’ruf.
Berdasarkan surat tuntutan jaksa, kelima terdakwa dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Brigadir J yang direncanakan terlebih dahulu.
Mereka dinilai telah melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.
Selain itu, khusus Sambo, jaksa penuntut umum juga menganggapnya terbukti bersalah dalam kasus dugaan merintangi penyidikan, dan disebut melanggar Pasal 49 jo Pasal 33 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Dalam kasus pembunuhan berencana, Ferdy Sambo dituntut hukuman pidana penjara seumur hidup dalam 2 kasus oleh jaksa penuntut umum.
Kemudian Kuat Ma'ruf, Ricky Rizal, dan Putri Candrawathi dituntut pidana penjara delapan tahun.
Sementara itu, Richard Eliezer dituntut pidana penjara 12 tahun penjara oleh JPU.
Sidang vonis kelima terdakwa akan digelar pekan depan dalam waktu yang berbeda.
Ferdy Sambo dan istrinya, Putri Candrawathi, dijadwalkan menjalani sidang vonis pada Senin (13/2/2023).
Kemudian Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf akan menjalani sidang vonis pada Selasa (14/2/2023).
Sedangkan Richard Eliezer akan menjadi terdakwa yang menjalani sidang vonis terakhir yakni pada Rabu (15/2/2023).