Jika mengacu ke regulasi yang ada, baik UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu maupun PKPU No. 4 Tahun 2022, keanggotaan partai politik itu setidaknya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik di tingkat Kabupaten/Kota.
Dan untuk diakui sebagai Organisasi Peserta Pemilu, maka partai politik harus memiliki keanggotaan minimal sejumlah yang disebutkan di atas disetidaknya 75 persen Kabupaten/Kota di tiap Provinsi.
Kerja keras tentu saja dilakukan oleh elite dan aktifis partai dalam mencari orang (warga masyarakat) yang mau bergabung dan menjadi anggota partai.
Di sini, kita membayangkan bahwa ada proses internalisasi dan sosialisasi menyangkut sebuah “ideologi” di antara elite dan aktifis partai politik bersama dengan warga masyarakat yang mau diajak bergabung ke dalam partai politik.
Sehingga dalam prosesnya yang terjadi setelahnya bukanlah sekadar tempelan semata, yang ditandai dengan kepemilikan KTA dan E-KTP atau Surat Keterangan atas diri warga masyarakat, yang bisa jadi, ada keanggotaan ganda partai.
Melainkan adalah bagian dari proses “pengakaran partai” (party-rooting) di masyarakat.
Dengan Sipol juga, dinamika keanggotaan partai dapat diketahui.
Berapa anggota partai yang masuk dan keluar di periode tertentu, dapat diketahui dan ditelusuri.
Dan sekaligus bisa menjawab bahwa warga masyarakat yang telah menjadi anggota partai di saat verifikasi partai dilakukan: Apakah akan tetap menjadi anggota partai ataukah telah keluar lebih dini dari yang dibayangkan?
Artinya, Sipol bisa memberikan informasi terkini terkait keanggotaan partai.
Dengan demikian, verifikasi partai tidak harus dilakukan setiap lima tahun menjelang Pemilu, yang di saat yang sama bisa jadi, mengganggu proses tahapan Pemilu lainnya.
Poin penting kedua: mengelola isu representasi
Dengan adanya Sipol yang dikelola dengan baik oleh admin partai, maka verifikasi faktual terhadap partai politik bisa dilakukan secara berkala.
Tidak hanya menjelang Pemilu tiba. Partai politik pun pada akhirnya dituntut untuk terus aktif dalam menata organisasi partainya, terutama di tingkat Kabupaten/Kota, sehingga tidak ada lagi kasus ada kantor partai politik yang hanya terlihat aktifitasnya pada saat menjelang Pemilu.
Kemampuan partai politik menata organisasinya memungkinkan elite dan aktifis partai beranjak untuk mengelola hal mendasar lainnya, yakni terkait isu representasi politik di tubuh partai.
Warga masyarakat yang menjadi anggota partai dari setidaknya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik di tingkat Kabupaten/Kota bukanlah sekadar angka statistik.
Melainkan bahwa keanggotaan partai itu adalah mewakili aspirasi, sebuah kepentingan dan motif tertentu dari warga masyarakat.
Sehingga partai politik menjadi organisasi yang di dalam dirinya berhimpun kemajemukan sosial yang membutuhkan saluran politik sebagai wadah perjuangan dari aspirasi, kepentingan dan motif para anggotanya.
Karena itu, partai politik harus bisa mengelola isu representasi kelompok di dalam dirinya agar tidak berefek buruk bagi keberlangsungan partai ke depannya.
Faksionalisme (pengelompokan) adalah hal yang mungkin dan tak terhindarkan di dalam partai politik.