TRIBUN-TIMUR.COM - Meski sudah ada instruksi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) agar tidak menjual secara bebas obat jenis sirup, sejumlah apotek dan toko obat di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat masih tetap menjual.
Seruni, pegawai di apotek yang berada di kawasan Babelan mengatakan apotek di tempatnya bekerja masih menjual obat sirup lantaran belum ada arahan tertulis dari Dinas Kesehatan (Dinkes) setempat.
"Baru sekedar baca berita itu juga baru hari ini ya, kita belum bisa menghentikan produksi, tunggu arahan resminya," kata Seruni kepada Tribun, Rabu (19/10).
Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang membeli obat sirup di apotek tempatnya.
"Masyarakat banyak juga yang butuh kalau diberhentikan secara dadakan bagaimana, jadi tunggu resminya saja," tuturnya lagi.
Tak hanya apotek, toko obat dan beberapa warung di kawasan Babelan juga masih banyak yang menjual obat sirup. Bahkan ada yang belum mengetahui pemberitaan bahwa Kemenkes telah mengimbau untuk menghentikan sementara penjualan obat sirup.
"Belum, belum dengar berita, nanti kalau dilarang ya nggak dijual," ujar Akbar penjual obat sirup di warungnya.
Sehubungan dengan terus berkembangnya ginjal akut progresif atipikal yang mayoritas menyerang usia anak di Indonesia, Kementerian Kesehatan(Kemenkes) mengeluarkan surat edaran terkait larangan bagi apotek menjual obat jenis sirup.
Dalam surat bernomor SR.01.05/III/3461/2022 tersebut Kemenkes juga menginstruksikan Tenaga Kesehatan(Nakes) pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan untuk sementara tidak meresepkan obat-obatan dalam bentuk sediaan cair/sirup sampai dilakukan pengumuman resmi dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Seluruh apotek untuk sementara tidak menjual obat bebas dan/atau bebas terbatas dalam bentuk sirup kepada masyarakat sampai dilakukan pengumuman resmi dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," tulis Surat Edaran Kemenkes yang ditandatangi oleh Plt Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Murti Utami Selasa (18/10).
Instruksi dikeluarkan Kemenkes sebagai kewaspadaan atas temuan gangguan ginjal akut progresif atipikal yang mayoritas menyerang usia anak di Indonesia. Kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal di Indonesia terus mengalami perburukan.
Kementerian Kesehatan bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melaporkan lonjakan peningkatan kasus gangguan ginjal akut yang tinggi pada anak-anak.
"Hingga saat ini, Rabu (18/10) dilaporkan ada 206 kasus dari 20 provinsi yang melaporkan. Angka kematian 99 kasus atau 48 persen," ungkap Juru Bicara Kementerian
Kesehatan dr Mohammad Syahril. Lebih lanjut, Syahril mengatakan angka kematian pasien khususnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sebagai rujukan nasional ginjal mencapai 65 persen.
Ia pun mengatakan jika data tersebut berdasarkan temuan kasus sejak Januari 2022 hingga Rabu (18/10). Syahril juga menjelaskan penyakit gagal ginjal akut pada anak tidak ada kaitannya dengan vaksinasi maupun infeksi COVID-19.
"Sampai saat ini kejadian gagal ginjal akut tidak ada kaitannya dengan vaksin Covid 19 maupun infeksi COVID-19," ujarnya.
Ia pun juga menyebutkan hingga kini masih terus dilakukan pemeriksaan laboratorium dan penyebab pasti gagal ginjal akut pada anak. Meski begitu upaya penelusuran kasus gagal ginjal akut terus dilakukan Kemenkes dengan menggandeng para ahli epidemiologi, Badan POM, IDAI, dan Puslabfor.
Penyelidikan epidemologi dilakukan dengan melakukan pengawasan dan pemeriksaan untuk mengetahui infeksi-infeksi yang menjadi penyebab gagal ginjal akut pada anak. Pemeriksaan mencakup swab tenggorokan, swab anus, pemeriksaan darah dan kemungkinan intoksikasi.
Saat ini Kemenkes bersama tim tengah melakukan penyelidikan epidemologi kepada masyarakat, tim akan menanyakan berbagai jenis obat-obatan yang dikonsumsi maupun penyakit yang pernah di derita 10 hari sebelum masuk rumah sakit atau sakit.
"Harapannya hasilnya bisa segera kami dapatkan sebagai informasi untuk penanganan selanjutnya," kata Syahril.
Klarifikasi BPOM
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga mengeluarkan klarifikasi lanjutan, terkait ramainya obat sirup untuk anak yang berisiko mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) dan dikaitkan gangguan ginjal akut.
Keempat jenis obat jenis sirup yang ditarik di Gambia, saat ini tidak terdaftar dan tidak beredar di Indonesia. Selai itu, produk dari produsen Maiden Pharmaceutical Ltd, India tidak ada yang terdaftar di BPOM.
Berdasarkan informasi dari WHO, keempat jenis obat yang diproduksi oleh Maiden Pharmaceuticals Limited, terdiri dari Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup.
Lebih lanjut, BPOM melakukan pengawasan secara komprehensif pre- dan post-market terhadap produk obat yang beredar di Indonesia.
"Sesuai dengan peraturan dan persyaratan registrasi produk obat, BPOM telah menetapkan persyaratan bahwa semua produk obat sirup untuk anak maupun dewasa, tidak diperbolehkan menggunakan EG dan DEG," tulis BPOM dikutip dari laman resminya.
Namun demikian EG dan DEG dapat ditemukan sebagai cemaran pada gliserin atau propilen glikol yang digunakan sebagai zat pelarut tambahan. BPOM telah menetapkan batas maksimal EG dan DEG pada kedua bahan tambahan tersebut sesuai standar internasional. Lebih lanjut, kementerian Kesehatan telah menjelaskan bahwa penyebab terjadinya gagal ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) belum diketahui.
Hingga kini masih memerlukan investigasi lebih lanjut bersama BPOM, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan pihak terkait lainnya. Selain itu BPOM mendorong tenaga kesehatan dan industri farmasi untuk aktif melaporkan efek samping obat atau kejadian tidak diinginkan pasca penggunaan obat. Selanjutnya, untuk produk yang melebih ambang batas aman akan segera diberikan sanksi administratif.
Berupa peringatan, peringatan keras, penghentian sementara kegiatan pembuatan obat, pembekuan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), pencabutan sertifikat CPOB, dan penghentian sementara kegiatan iklan, serta pembekuan Izin Edar dan/atau pencabutan Izin Edar.
Semua industri farmasi yang memiliki obat sirup yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG, diminta untuk melaporkan hasil pengujian yang dilakukan secara mandiri sebagai bentuk tanggung jawab pelaku usaha.
Industri farmasi juga dapat melakukan upaya lain seperti mengganti formula obat dan atau bahan baku jika diperlukan. BPOM juga mengajak masyarakat untuk menggunakan obat secara aman dan selalu memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, menggunakan obat secara sesuai dan tidak melebihi aturan pakai.
Kedua, membaca dengan seksama peringatan dalam kemasan;
Ketiga, menghindari penggunaan sisa obat sirup yang sudah terbuka dan disimpan lama.
Keempat, melakukan konsultasi kepada dokter, apoteker atau tenaga kesehatan lainnya apabila gejala tidak berkurang setelah 3 (tiga) hari penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas pada upaya pengobatan sendiri (swamedikasi).
Kelima, melaporkan secara lengkap obat yang digunakan pada swamedikasi kepada tenaga kesehatan. Keenam, melaporkan efek samping obat kepada tenaga kesehatan terdekat atau melalui aplikasi layanan BPOM Mobile dan e-MESO Mobile.
"BPOM juga mengimbau masyarakat agar lebih waspada dan menggunakan produk obat yang terdaftar di BPOM yang diperoleh dari fasilitas pelayanan kefarmasian. Atau sumber resmi serta selalu ingat Cek KLIK (cek kemasan, label, izin edar, dan kedaluwarsa) sebelum membeli atau menggunakan obat," tutupnya.
RS Rujukan
Selain melarang penjualan obat jenis sirup bagi apotek dan pemberian resep obat jenis yang sama, Kementerian Kesehatan(Kemenkes) juga menginstruksikan agar fasilitas pelayanan kesehatan atau rumah sakit yang belum memiliki paling sedikit fasilitas ruangan intensif berupa High Care Unit (HCU) dan Pediatric Intensive Care Unit (PICU) agar bisa memberikan rujukan segara.
Begitu juga apabila ada rumah sakit yang belum memiliki dokter spesialis ginjal anak dan fasilitas hemodialisis agar memberikan rujukan kepada rumah sakit yang sudah ada dokter yang dimaksud tersebut.
"Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang melakukan penatalaksanaan awal Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal/Atypical Progressive Acute Kidney Injury pada anak merupakan rumah sakit yang memiliki paling sedikit fasilitas ruangan intensif berupa High Care Unit (HCU) dan Pediatric Intensive Care Unit (PICU). Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak memiliki fasilitas dimaksud dan/atau sarana prasarana lain sesuai dengan kebutuhan medis pasien harus melakukan rujukan ke Rumah Sakit yang memiliki dokter spesialis ginjal anak dan fasilitas hemodialisis anak. Penatalaksanaan pasien oleh rumah sakit mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/I/3305/2022 tentang Tata Laksana dan Manajemen Klinis Gangguan Ginjal Akut Atipikal (Atypical Progressive Acute Kidney Injury) Pada Anak di Fasilitas Pelayanan Kesehatan," tulis Surat Edaran Kemenkes.
Kemenkes juga meminta anak dengan kasus suspek gangguan ginjal akut progresif atipikal/atypical progressive acute kidney injury agar segera dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat untuk dilakukan pemeriksaan. Untuk selanjutnya fasilitas pelayanan kesehatan melakukan pemeriksaan laboratorium ureum, kreatinin dan pemeriksaan penunjang lain, serta melakukan observasi. Selanjutnya bila tidak dapat ditangani dalam 1x24 jam, fasilitas pelayanan Kesehatan harus melakukan rujukan ke Rumah Sakit. (*)