Selanjutnya, dalam pasal 73 ayat 1 mencantumkan bahwa “Dalam dalam hal draf RUU telah disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam pasal 72 masih ditemukan kesalan teknis, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesekretarian negara bersama dengan Kementerian yang membahas RUU tersebut melakukan perbaikan dengan melibatkan pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas RUU tersebut”.
Jika kita mengacu pada UU No. 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan khususnya pada pasal 72 ayat 1, maka kita dapat melihat bahwa tahapan paling penting dalam pembentukan suatu UU ada pada tahap persetujuan bersama DPR dan Pemerintah, pengesahan tidaklah terlalu penting karena pada akhirnya ketika telah disetujui bersama pada rapat paripurna suatu RUU akan menjadi UU baik dengan pengesahan presiden ataupun tidak (Pasal 73 ayat 2 UU 12/2011).
Beda halnya dengan negara Amerika Serikat yang juga menganut sistem Pemerintahan Presidensial, dimana tahapan paling penting pembentukan UU berada pada tahap pengesahan yang artinya tanda tangan presiden yang menjadi penentu apakah RUU tersebut diterima ataukah ditolak.
Jika presiden menandatangani maka suatu RUU akan menjadi Undang-Undang, namun jika Presiden menolak menandatangani maka RUU tidak dapat menjadi Undang-Undang, ini disebut dengan Pocket Veto.
Secara lengkap berbunyi “Every Bill which shall have passed the House of Representatives and the Senate, shall, before it become a Law, be presented to the President of the United States; If he approve he shall sign it, but if not he shall return it, with his Objections to that House in which it shall have originated, who shall enter the Objections at large on their Journal, and proceed to reconsider it. If after such Reconsideration two thirds of that House shall agree to pass the Bill, it shall be sent, together with the Objections, to the other House, by which it shall likewise be reconsidered, and if approved by two thirds of that House, it shall become a Law. But in all such Cases the Votes of both Houses shall be determined by yeas and Nays, and the Names of the Persons voting for and against the Bill shall be entered on the Journal of each House respectively.
If any Bill shall not be returned by the President within ten Days (Sundays excepted) after it shall have been presented to him, the Same shall be a Law, in like Manner as if he had signed it, unless the Congress by their Adjournment prevent its Return, in which Case it shall not be a Law.
Hal yang ingin saya sampaikan secara tidak langsung pasal 72 ayat (1a) maupun Pasal 7 ayat 1 yang terdapat dalam revisi UU P3 menjadikan suatu RUU yang telah disetujui bersama tidak jauh berbeda dengan revisi skripsi ataupun makalah, sehingga akan menghilangkan sakralitas suatu RUU karena dimungkinkan untuk diperbaiki kembali dalam hal teknis penulisan meskipun setelah tahapan persetujuan bersama.
P3 memiliki niat meloloskan UU Cipta Kerja, maka pertanyaan selanjutnya ialah apakah dengan revisi tersebut secara langsung memberikan legitimasi kepada UU Cipta Kerja ? Jika kita mengacu pada pasal 1 ayat 1 kuhp atau yang biasa disebut dengan asas non-retroaktif, maka hal di atas tidaklah dibenarkan.
Apalagi jika kita mengacu putusan MK tentang UU Cipta Kerja yang memerintahkan adanya perbaikan dan juga dimuatnya meaningful participation.(*)