Opini Syamsul Arif Galib

Agama, Yang Suci dan Jebakan Merasa Diri Paling Suci

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Syamsul Arif Galib Pengajar Studi Agama-Agama di Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin. Penulis opini Agama, Yang Suci dan Jebakan Merasa Diri Paling Suci

Oleh: Syamsul Arif Galib

Bersama Institute for Interfaith Encounter and Religious Literacy

TRIBUN-TIMUR.COM - Agama dan kesucian adalah dua hal yang saling terkait.

Faktor kesucian yang membedakan agama dengan hal lainnya yang bukan agama.

Dalam Bahasa Mercia Eliade, agama terkait dengan hal-hal yang dianggap sacred (suci) sedang yang bukan agama digolongkan sebagai sesuatu yang profane.

Yang sakral adalah kebalikan dari yang profane.

Di mana yang sakral selalu memanifestasikan dirinya sebagai realitas tatanan yang sama sekali berbeda dari realitas "alami" (The Sacred and The Profane: The Nature of Religion, 1959)

Kecintaan banyak orang pada anime bisa saja membuat orang-orang menghabiskan banyak waktu dengan anime hingga mengoleksi apapun terkait anime.

Namun anime tidak dapat disebut sebagai sebuah agama karena dia tidak dikaitkan dengan kesucian.

Posisi anime tidak pernah disetarakan dengan agama yang bagi penganutnya dianggap lebih suci.

Demikian halnya dengan sepakbola. Meski para suporter sepakbola akan mendukung timnya sepenuh hati, namun posisi sepak bola tidak serta-merta menjadi agama.

Dan meskipun elemen-elemen pembentuk agama dapat kita temukan dalam sepakbola seperti adanya keyakinan, ritual dan juga pengikut. Namun Sepak bola tetaplah tidak sebut agama karena dia tidak dikaitkan dengan kesucian.

Karena faktor kesucian ini, maka penghargaan atas simbol-simbol agama menjadi krusial.

Selayaknya agama yang dianggap suci, maka simbol agama yang dianggap suci pun akan mendapatkan penghargaan khusus.

Penyerangan atas simbol agama akan dianggap sebagai penghinaan atas agama-agama tertentu.

Dalam berbagai tradisi agama, tempat-tempat ibadah selalu menjadi tempat yang disakralkan.

Kota di mana seorang tokoh agama dilahirkan, rumah di mana mereka pernah tinggal hingga di mana mereka dimakamkan selalu menjadi tempat yang menarik bagi para peziarah. Maka tempat-tempat tersebut selayaknya harus dihormati oleh siapapun.

Demikian halnya dengan titah agama. Titah-titah agama dianggap adalah titah suci yang datang dari Pencipta Semesta.

Para penganut agama akan berusaha melaksanakan titah-titah tersebut sebagai upaya untuk membuktikan dirinya adalah penganut agama yang taat dan baik.

Titah suci ini yang menjadi petunjuk jalan bagi seseorang dalam menjalani kehidupannya.

Jebakan Merasa Paling Suci

Meskipun agama terkait dengan kesucian, namun tidak berarti bahwa mereka yang beragama berhak untuk menyebut dirinya sebagai representasi kesucian apalagi mendewa diri sebagai yang paling suci.

Merasa paling suci merupakan jebakan bagi mereka yang beragama. Sayangnya, ada saja di antara orang beragama yang merasa menjadi suci dengan beragama.

Ajaran agama yang dianggap suci seharusnya menjadi penerang jalan dalam menjalani hidup yang seringkali dipenuhi dengan segala ketidakpastian.

Agama dapat menjadi petunjuk bagi mereka yang meyakininya mengingat agama diyakini sebagi jalan penyelamat bagi mereka yang beragama.

Kenyataannya, agama tidak hanya menjadikan seseorang mau berbuat baik karena terinspirasi oleh agama. Agama juga menghadirkan orang-orang yang merasa suci dengan agama dan perasaan merasa suci itu justru menjadikannya merasa lebih baik dari yang lain.

Tentu tidak masalah merasa menjadi lebih baik karena beragama dan memang agama menghadirkan perasaan bahwa seseorang melaksanakan sesuatu yang baik.

Namun, perasaan itu menjadi problematik jika seseorang mulai merasa diri paling suci. Perasaan paling suci terkadang menjebak seseorang dalam melihat orang yang berbeda.

Jebakan merasa paling suci seringkali mengantarkan seseorang pada perasaan paling benar dan tidak bisa melihat bahwa ada nilai kebenaran pada kelompok lain di luar dirinya.

Jebakan merasa paling suci terjadi seringkali karena seorang penganut agama merasa bahwa dengan beragama, dirinya telah mengikuti kebenaran. Dan tidak ada kebenaran selain kebenaran yang diyakininya.

Mereka yang menganut iman yang samapun namun melaksanakan ritual yang berbeda bahkan akan dianggap salah.

Hal yang paling menghawatirkan dari perasaan paling suci adalah perasaan diri paling religious dan juga paling bermoral.

Perasaan semacama ini seringkali mengantarkan seseorang menjadi seorang moralis yang merasa bahwa moralitasnyalah yang paling benar dan seseorang yang berbeda dengannya bisa saja dianggap tidak bermoral sesuai dengan standar yang diyakininya.

Padahal, tentu akan tidak adil untuk menilai seseorang beretika atau bermoral menggunakan ukuran moralitas personal kita.

Jebakan merasa suci menjadikan seseorang yang merasa ibadahnya lebih banyak dari orang lain, akan memandang rendah orang yang mereka anggap memiliki intensitas ibadah yang kelihatannya lebih rendah.

Mereka yang menurutnya tidak memiliki intensitas beragama yang cukup akan dianggap tidak serius dalam beragama atau bahkan mempermainkan agama.

Hal yang paling menghawatirkan tentu saja bahwa jebakan merasa paling suci bisa saja menjadikan seseorang merasa menjadi wakil Tuhan yang paling layak di muka bumi dan dengan itu dia merasa merasa memiliki hak untuk mengadili orang lain.

Pada posisi ini, maka penting untuk mempertanyakan kembali tujuan beragama kita.

Apa alasan di balik kita beragama. Apakah kita beragama untuk menjadi baik atau kita beragama untuk merasa diri suci? (*)

Berita Terkini