Tetapi peradaban tidak lain adalah realisasi dari kebudayaan yang paling bisa kita lihat dan rasakan.
Ketika kita menyebut “peradaban Andalusia”, misalnya, kita dapat melihat jejak-jejak arsitektur negeri yang pernah menjadi pusat peradaban Islam di Eropa itu.
Kita juga dapat membaca kary-karya pemikir yang merupakan cerminan pencapaian pemikiran pada jaman itu.
Peradaban dengan demikian dapat lebih dipahami sebagai realisasi kebudayaan yang telah “dibekukan” sehingga bahan-bahannya menjadi kekayaan dan khasanah yang dapat menjadi pedoman, rujukan dan titik pijak untuk membangun peradaban kita pada masa kini.
Dengan dua pengertian tersebut, maka paling tidak kita sudah dapat memahami lebih jernih apa sesungguhnya kebudayaan itu.
Untuk lebih jelasnya, Koentjaraningrat, seorang ahli antropologi dan pakar kebudayaan yang sampai kini banyak dirujuk menyebut bahwa kebudayaan tidak lain adalah seluruh sistim gagasan, tindakan dan karya yang dihasilkan manusia dalam hidup bermasyarakat dan menjadi miliknya melalui proses belajar.
Batasan dan ruang lingkup ini pula yang menyebabkan kebudayaan selalu didekatkan dengan pendidikan.
Adapun sistim-sistim gagasan, tindakan dan karya tersebut meliputi sistim religi dan upacara keagamaan, sistim organisasi kemasyarakatan, sistim pengetahuan, bahasa, kesenian, sistim mata pencaharian hidup dan sistim teknologi dan peralatan.
Sistem-sistem inilah yang terus berkembang dan dikembangkan sehingga kerangka kerja kebudayaan adalah bidang yang amat luas cakupannya.
Di dalamnya tentu termasuk pelembagaan atau pembangunan lembaga-lembaga baik formal dan informal dalam sebuah komunitas atau masyarakat.
Yang harus kita sadari bersama dalam konteks ini ialah bahwa kebudayaan dengan sistim-sistim yang ada di dalamnya tadi adalah sesuatu yang dinamis dan tidak dapat “dibekukan” atau dibuat statis hanya pada adatm istiadat dan tradisi.
Kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis dan terus bergerak.
Sistem pemerintahan kita misalnya dahulu disebut autoritarian dan sekarang disebut demokratis. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Lantas apa yang dapat kita pahami ketika Pemerintah Kota Makassar belum lama ini membentuk Dewan Kebudayaan Kota Makassar?*