TRIBUN-TIMUR.COM- Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP RI Prof Muhammad mengandaikan peran penyelenggara pemilihan umum seperti wasit dalam sepak bola.
Hal itu dia sampaikan saat menjadi narasumber dalam program Tribun VIP di Studio Tribun Timur, Jl Cendrawasih No 430, Kota Makassar, Jumat (11/2/2022) sore.
Tema yang dibahas yaitu DKPP Menuju Pemilu 2024 Berkualitas.
Prof Muhammad sejatinya datang ke Kota Makassar dalam rangka bertemu Komisioner KPU Sulsel dan Komisioner Bawaslu Sulsel.
Di sela-sela waktu luangnya, ia menyempatkan berkunjung dan silaturahmi ke Redaksi Tribun Timur.
Prof Muhammad menjelaskan komisioner KPU, Bawaslu harus menjunjung netralitas dan integritas.
Baca juga: Prof Muhammad: Saya Darah Arab dan Bugis
KPU, Bawaslu itu bagaikan wasit dalam pertandingan sepak bola.
Jika wasit netral, tegas, dan berintegritas, kesebelasan yang kalah akan merasa nyaman dan terhormat.
Ia berterima walaupun harus kalah.
Sebaliknya, jika wasit bermain, curang, dan berpihak, maka bisa menimbulkan perselisihan.
Berikut petikan wawancara eksklusifnya bersama Jurnalis Tribun Timur Muh Hasim Arfah:
Baca juga: Prof Muhammad: Saya Darah Arab dan Bugis
1. Bagaimana kabar hari ini?
Alhamdulillah kabar baik, sehat, semengat karena saya mau ke sini ke Tribun Timur.
Saya atas nama pribadi dan DPKK mengucapkan selamat ulang tahun ke-18 Tribun Timur.
Insyaallah Tribun Timur semakin mengedukasi insan pers dalam memberi pendidikan politik yang baik, edukasi politik yang baik. Semoga semakin jaya Tribun Timur
2. Dalam rangka apa kedatangan ke Makassar?
Kami datang berkoordinasi dan sosialiasi kode etik kepada KPU dan Bawaslu provinsi.
DKPP selalu mengajak penyelengggara sebagai pilar penting, sukses, terhormatnya, berintegritasnya, dan berkualitasnya proses pemilu kepada KPU, bawaslu. Kita saling menguatkan
Jadi tadi kami ke KPU dan Bawaslu Sulsel, ketemu penyelenggara, sosilaiasi kode etik, pentingnya kode bagi penyelenggara pemilu.
Sekarang tuntutan profesi seperti itu, sebagai bentuk pertanggung jawaban kepada publik, profesi penyelanggara sangat terhormat.
Mereka orang-orang pilihan dari seleksi ketat untuk mendapatkan figur yang dipecaya negara dan masyarakat sebagai penyelenggara pemilu.
Maka harus dipastikan dia bekerja selain pedomani regulasi undang-undang, juga kode etik, bertemu antara profesionalisme dan integritas. Itu figur ideal.
3. Bagaimana ceritanya orang tua memilih nama Muhammad?
Iya jadi ibu saya itu kan tidak mau setengah-setengah saya dalam teladani Nabi Muhammad.
Cita-cita Ibu saya seperti itu, ingin saya tidak setengah-setengah dalam teladani sosok dan kepribadiaan Nabi Muhammad.
4. Anda keturunan nabi dan keturunan Parepare ya?
Ada dari kakek saya. Berdasarkan cerita ayah saya, kakek saya itu petulang, dia mengembara, hampir seluruh negeri sudah dikunjungi. Salah satunya ini Indonesia.
Lalu tiga lapis ke atas dari kakek saya itu menikah dengan pribumi, lalu lahirlah saya.
Jadi berbaur antara darah Arab Timur Tengah dengan darah Bugis.
5. Dulu kuliah di Unhas, S3 di Universitas Airlangga, penelitian tentang akuntabilitas, bagaimana yang kita maksud?
Orang bisa terima hasil pemilu termasuk proses, kalau penyelenggara bisa yakinkan tentang pertanggungjawaban tentang tugas itu. Semua orang bisa menilai kerja-kerja KPU.
Tetapi KPU, Bawaslu harus bisa meyakinkan publik bahwa mereka bekerja atas nama Undang-undang.
Saya bekerja atas dasar regulasi, saya bekerja atas nama kode etik, itulahlah akuntabilitas.
Sehingga kalau komitmen dan keteguhan itu sudah bisa diwujudkan, yang kalah akan terima, baik itu caleg yang kalah, capres yang kalah, calon gubernur yang kalah.
Karena dia melihat bagaimana komisioner KPU dan Bawaslu bisa mempersembahkan akuntabilitas dalam kelola tugas dan tanggung jawabanya.
Contohnya begini pertandingan sepak bola, kalau wasitnya tegas, yang salah diberi sanksi, derajat sanksi sesuai kesalahan, yang tidak salah diberi, maka kesebelasan kalah, itu terima dengan lapang dada.
Bahkan sebelum korona bertukar kostum, cipika cipiki, padahal dia kalah, kok dia mereka nyaman walaupun kalah, karena dia menemukan, melihat, merasakan kepemimpinan wasit yang fair.
Sehingga walaupun kalah tapi terhormat, tidak merasa terhormat karena bertanding diawasi wasit netral. Sebaliknya kalau wasit berpihak, untungkan sebelasan sepihak, yang kalah walaupun satu bola, dia tidak menerima, kejar wasit, karena dia kalah karena wasit curang.
Nah sama juga dengan pemilu kita. Kalau KPU, Bawaslu, DKPP bisa yakinkan publik bahwa bekerja atas nama undang-undang dalam prinsip kemandirian, walaupun saya tidak menang pemilu, saya terima, saya akui lawan menang karena KPU fair.
Baca juga: DKPP Pecat Komisioner KPU Jeneponto Ekawaty Dewi
6. Manusia bisa berbuat jahat, apalagi dalam sistem pemilihan kita sangat terbuka. Nah bagaimana sistem pemilihan kita bisa tekan sifat jahat itu?
Nah sistem pemilu ini benar-benar bisa dipastikan buka ruang untuk diawasi publik, jadi partisipasi publik harus dibuka.
Salah satu ciri pemilu berkualitas, berintegritas, kalau dibuka ruang di mana ada partisipasi publik, masyarakat bisa awasi kerja-kerja KPU.
Nah itu yang memungkinkan pemilu ini membuat sistem pemilu ini bisa sampai pada taraf berkualitas. Bahkan dalam persepektif DKPP bukan hanya berkualitas tapi berintegritas. Kalau publik bisa awasi, karena sejatinya pemilihan bukan hajatnya KPU, Bawaslu, DKPP, parpol, tapi hajat masyarakat, politik ada, ekonomi ada.
Syaratnya ada pengawasan dari masyarakat, kalau dibuka maka pemilihan kita sudah maju, pemilu partisipatif.
7. Fenomena saat ini masyarakat cenderung feodalistik dalam memilih, tokoh masuk parlemen atau eksekutif tidak bisa berbuat banyak. Bagaimana anda melihat itu?
Ini sukses pemilu beberapa hal harus diperhatikan. Saya indentifikasi ada lima, regulasi harus tegas dan jelas. DPR, pemerintah susun regulasi harus hitam putih, ini pelanggaran, harus jelas apalagi tidak tegas, bisa mengancam kepastian hukum.
Itu syarat pertama, kita titip harapan pada DPR sebagai pembuat undang-undang, benar-benar regulasi dibuat sejelas mungkin, sanksi harus jelas, diturunkan jadi peraturan KPU.
Kedua, pemilih cerdas, ini harus jadi perhatian, parpol. Sebagai pilar demokrasi keempat, ajak masyarakat ke TPS baca dulu visi misi calon, tidak karena kedekatan saja.
Ada data bawaslu menarik bukan karena visi misi memilih tapi karena kedekatan, maaf, politik uang. Itu bisa rusak kualitas demokrasi kita. Dia harus diajak, tidak boleh pada saat pemilu saja, euforianya selama ini hanya jelang pemilihan, harusnya edukasi seperti kurikulum pendidikan, continyu, baru bisa dapatkan kualitas pemilih cerdas.
Ketiga birokrasi netral, jangan sampai ASN diseret, diancam, habis pemilihan ada dinas mata air, dinas mata air, ada balas jasa, balas budi. Itu hal-hal norak kelihatan.
Keempat pers bebas independen, seperti Tribun Timur ajak masyarakat, beri informasi berimbang, kelima penyelenggara pemilu, KPU Bawaslu sebagai wasit harus independen.(*)
Baca juga: Ketua DKPP: Ongkos Pemilu 2024 Rp 81 Triliun
Baca juga: Ketua DKPP Prof Muhammad: Selamat Ulang Tahun ke-18 Tribun Timur