"Seperti PLTP ada 1,4 GW kemudian hidro ada 4,9 GW itu kami percepat prosesnya. Sehingga kita harapkan di 2025 itu bisa beroperasi," kata Edwin.
Inisiatif berikutnya adalah menerapkan penggantian batu bara sebagai bahan bakar pada PLTU dengan biomassa (co-firing), sehingga biomassa menempati 3 sampai 6 persen dalam porsi EBT pada 2025.
"Kita berharap sampai 2025 nanti sekitar 10-20 persen batu bara digantikan biomassa sehingga kita berharap 3-6 persen bauran EBT pada 2025 berasal dari biomassa," imbuhnya.
Inisiatif ketiga adalah menggantikan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yang tidak tersambung dengan sistem kelistrikan skala besar di wilayah terpencil dengan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
PLN juga akan menggunakan PLTS dengan total kapasitas 3 sampai 4 GW dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) dengan total kapasitas 600 MW.
"Ini hal utama yang kami lakukan dengn kondisi over supply dengan memanfaatkan yang ada supaya bauran EBT tercapai," ujarnya.
Menurut Edwin, dengan inisiatif tersebut PLN dapat berhemat dari sisi pengeluaran belanja modal (Capex) untuk mengejar target porsi EBT sebesar 23 persen dalam bauran energi pada 2025.
"Dengan memanfaatkan aset yang ada, kami berharap Capex tidak tinggi dan Opex bisa dioptimalkan," kata Edwin.
Pada kesempatan yang sama, Pengamat Ekonomi Energi Fahmy Radhi menyarankan pemerintah harus berhitung cermat dalam menerapkan kebijakan transisi energi fosil ke EBT.
Pasalnya, untuk merealisasikan rencana tersbut harus menghadapi sejumlah tantangan, yaitu kondisi kelistrikan Indonesia saat ini 65 persennya adalah PLTU yang menggunakan batu bara dan harga jual listriknya paling murah, sementara harga listrik dari pembangkit berbasis EBT mayoritas masih mahal.
Berikutnya adalah karakteristik pembangkit EBT dengan berbahan bakar fosil berbeda dalam menghasilkan listrik, karena sebagian pembangkit berbasis EBT tidak bisa memasok listrik secara terus menerus.
Sementara jika harus berbagi beban dengan pengembang listrik swasta (Independent Power Producer /IPP) pemerintah harus membuat kebijakan insentif yang menarik bagi investor.
"Kalau harus 100 persen itu berat terutama dari sisi pembiayaan. Tidak bisa sepenuhnya dibebankan ke PLN, harus ada investor lain dalam bentuk IPP untuk masuk ke EBT. Juga masalah-masalah lain untuk tarik investor ke EBT butuh tax insentif atau pendanaan perbankan itu bisa diberikan subsidi bunga," imbuhnya.
Narahubung
Gregorius Adi Trianto
Vice President Komunikasi Korporat PLN
Tlp. 021 7261122
Facs. 021 7227059
Sekilas Tentang PLN