TRIBUN-TIMUR.COM- Aktivis Muhammadiyah Hadi Saputra mengenang Ketua Muhammadiyah Sulsel periode 2000-2005, KH Nasruddin Razak.
Ketua Majelis Pustaka PW Muhammadiyah Sulsel ini menuliskan pengalamannya berhadapan dengan KH Nasruddin Razak.
Berikut tulisan Dosen Universitas Muhammadiyah Makassar ini:
Innalillahi wainna ilaihi rajiun. K.H. Nasruddin Razak, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel 2000-2005 telah berpulang.
Ia wafat, Jumat 6 Agustus 2021, pukul 08.20 Wita.
Perjumpaan terakhir saya dengan beliau, bulan lalu, saat ia tertimpa musibah.
Rumahnya terbakar.
Meski terpukul, namun ia tetap tersenyum.
Baca juga: Cerita Ashabul Kahfi Saat Jadi Sekretaris KH Nasruddin Razak Kepengurusan Muhammadiyah Sulsel
Bahkan menyebut, hal itu sebagai ujian bagi dirinya sebagai mubalig, yang kerap menjadikan tema ‘kesabaran’ sebagai bahan khutbah dan pengajian.
Tulisan ini ingin mengabadikan salah satu sisi yang sangat berkesan bagi saya.
Tentu banyak kisah-kisah lain.
Tapi, kisah ini mungkin jarang didengar banyak orang.
Kisah ini terjadi sekitar tahun 2005, 16 tahun yang lalu.
Saat itu, saya masih menjadi Ketua Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) – sekarang berganti nama kembali menjadi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).
Baca juga: TRIBUNWIKI: Profil KH Nasruddin Razak, Ulama Muhammadiyah Sulsel
Perang Pemikiran
Saat itu, kami baru saja menggelar aktivitas pengaderan Taruna Melati III, semacam aktivitas “Advanced leadership training” bagi para Pimpinan IRM.
Seingat saya, dalam forum pengaderan itulah terjadi ‘perang pemikiran’ yang sangat intens.
Hampir setiap sesi diskusi, pasti menjadi ajang debat yang cukup panas.
Sebagian peserta membentuk ‘front penyelamat Iman’ sedangkan sebagian besar fasilitator dianggap ‘misionaris liberalisme’.
Cap ‘Liberalisme’ disematkan kepada para fasilitator, karena kami dianggap berpikir kebablasan, sangat bebas dan terbuka.
Padahal saat itu, kami hanya menampilkan kapita selekta bacaan.
Mulai dari elaborasi Tauhid Sosial Amien Rais, Islam Transformatif Muslim Abdurrahman, Kiri Islam Munir Mulkhan, Islam Kiri Hanafi, Teologi Pembebasan Ashgar Ali Enginer, Rekonstruksi Pemikiran Agama Muhammad Iqbal, hingga Teologi Pembebasan Farid Esack.
Baca juga: KH Nasruddin Razak Dimakamkan di Bajeng Gowa
Kami juga mulai banyak mendiskusikan buku-buku Jalaluddin Rahmat, seperti Islam Aktual, Islam Alternatif, hingga ‘Dahulukan Akhlak di Atas Fikih’.
Intelektual Iran pun mulai kami daras gagasannya, seperti Baqir al-Sadr, Ali Syariati, Murtadha Mutahari, hingga Hossein Nasr.
Filsuf dan Pemikir Sosial Barat juga menjadi bahan kajian.
Tokoh yang masih saya ingat, antara lain Nietszche, Martin Heidegger, Soren Kierkegaard, Karl Heinrich Marx, Juergen Habermas, Paulo Freire dll.
Tentu saja selain bacaan-bacaan serius itu, kami juga membaca Trilogi Laskar Pelangi Andrea Hirata, Ayat-ayat Cinta Habiburakhman el Shirazy, hingga Novel ‘Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur’ Muhiddin M. Dahlan.
Rasa-rasanya, kami tak mengenal labeling, ini buku Kanan atau Kiri, ini buku Sunni atau Syiah, buku peneguh iman atau pengguncang iman.
Sementara, sebagian besar peserta TM III saat itu, belum bisa menerima keragaman pandangan dan bacaan semacam itu.
Meski demikian, saat penutupan pelatihan kami anggap dialektika yang terjadi dalam forum sekadar dinamika pemikiran biasa.
Ternyata persoalan belum selesai.
Hampir separuh dari peserta, membuat pernyataan sikap, dan mengadukan kami kepada Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel, bahkan hingga ke Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Baca juga: BREAKING NEWS: Mantan Ketua Muhammadiyah Sulsel KH Nasruddin Razak Wafat
Pengadilan Pemikiran
Hal itu baru kami ketahui, setelah mendapatkan panggilan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah.
Kami diundang hadir dalam rapat Muhammadiyah yang biasanya digelar rutin sekali sepekan.
Setelah kami hadir di ruang rapat, Ketua Muhammadiyah Sulsel, K.H. Nasruddin Razak membacakan surat pernyataan sikap dari peserta pengaderan TM III.
Dalam pernyataan itu, mereka menyebut, Pimpinan Wilayah IRM telah terpapar Virus Sepilis (Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme) yang selama ini diusung Jaringan Islam Liberal (JIL) dan menyosialisasikan ajaran Syiah di Muhammadiyah.
Setelah membacakan pernyataan itu, ternyata respon Kiai Nasruddin sangat berbeda.
Panggilan yang awalnya kami anggap sebagai ‘Pengadilan Pemikiran’, ternyata tidak terjadi.
Beliau hanya berpesan “Apa yang kita yakini dan anggap benar hari ini, belum tentu kita anggap benar esok hari. Jangan pernah berpuas diri dengan pengetahuan yang kita miliki. Cukup jadikan sebagai tanda koma, bukan titik. Intinya, jangan berhenti belajar, jangan berhenti membaca. Apalagi kalian masih muda.”
Menurutnya, apa yang dituduhkan peserta kepada kami, merupakan bagian dari dinamika yang telah sering terjadi dalam perkembangan peradaban Islam selama ratusan tahun.
Sejak itu, saya agak penasaran dengan latar belakang sang Kiai.
Ternyata ia merupakan kawan segenerasi Nurcholish Majid (Cak Nur) di HMI.
Saat Cak Nur menjadi Ketua PB HMI, Nasruddin Razak merupakan Ketua HMI Cabang Yogyakarta.
Kiai Nas pernah bercerita, bahwa setiap ke Yogya, Cak Nur kerap menginap di rumah kosnya.
Di sana Cak Nur sering begadang membaca buku-buku koleksi Kiai Nas.
Bahkan banyak buku yang ada di rak buku Nasruddin, tidak dimiliki Cak Nur.
Meskipun saya tidak pernah bertemu langsung dengan Cak Nur, sang Begawan pembaruan Islam di Indonesia, setidaknya saya pernah belajar dari salah seorang karibnya.
***
Kini sang pembela kebebasan berpikir telah pergi. Ia telah meninggalkan jejak pengabdian yang panjang, baik sebagai ulama, mubalig, cendekiawan maupun aktivis. Namun pesannya akan selalu kami amalkan, “Jangan berhenti belajar, jangan berhenti membaca”. Selamat jalan Kiai!(*)