TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Nama Akbar Nugraha menjadi satu dari empat saksi yang dijadwalkan diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Rencananya, Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah Sulawesi Selatan (BPPD) Sulsel itu diperiksa di Kantor KPK Jl Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu (28/4/2021).
Namun belum ada informasi dari KPK, apakah mantan tim sukses Nurdin Abdullah pada Pilgub 2018 lalu itu memenuhi panggilan tersebut atau tidak.
Akbar Nugraha adalah kawan dekat putra gubernur nonaktif, Fathul Fauzy Nurdin. Akbar kemudian menjabat Ketua BPPD Sulsel sejak 2019, tidak lama usai Nurdin terpilih.
Dalam rilis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, Akbar Nugraha yang merupakan orang dekat kekuasaan yang terlibat konsesi penambangan pasir laut Makassar New Port (MNP).
Selain Akbar, ada dua orang lainnya yang terlibat. Abil Iksan dan Fahmi Islami yang seluruhnya terafilisasi orang dekat Nurdin Abdullah.
Adapun Akbar, Abil dan Fahmi diketahui sebagai pemegang saham sekaligus berada dalam jajaran komisaris dan direktur pada perusahaan-perusahaan yang mengantongi konsesi penambangan pasir laut di wilayah perairan Makassar.
Perusahaan pemegang konsesi itu yakni PT Banteng Laut Indonesia, dikendalikan oleh Akbar Nugraha sebagai Direktur Utama, lalu ada nama Sunny Tanuwijaya sebagai Komisaris Utama, Abil Iksan dan Yoga Gumelar Wietdhianto selaku direktur.
Sementara Fahmi Islami tercatat sebagai pemegang saham pada PT Banteng Laut Indonesia.
Selanjutnya adalah PT Nugraha Indonesia Timur dengan Abil Iksan dan Akbar Nugraha sebagai pemegang saham merangkap masing-masing sebagai direktur dan wakil direktur, serta ada Kendrik Wisan sebagai Komisaris.
Direktur Eksekutif Walhi Sulsel Muhammad Al Amien menyebut pemberian hak konsesi terhadap PT Banteng dan PT Nugraha tidak melibatkan unsur nelayan yang berada dalam jangkauan dampak aktivitas penambangan pasir laut.
Dia menguraikan luasan konsesi yang beririsan dengan Blok Spermonde Makassar itu memiliki dampak langsung terhadap produktivitas nelayan yang menjadikan gugusan kepulauan Spermonde Makassar sebagai area tangkapan.
"Ada tahapan pemberian hak konsesi yang tidak dilakukan sebagaimana yang termaktub dalam PP 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan, terkhusus pada aspek mengabaikan sosialisasi dan konsultasi saat analisis dampak lingkungan kepada nelayan," ujarnya dalam rilisnya.
Selain itu, durasi persetujuan dokumen perihal kerangka acuan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang diajukan PT Banteng dan PT Nugraha untuk kebutuhan izin penambangan pasir laut, terbilang sangat cepat di luar kelaziman.
Dokumen tersebut diajukan 29 Oktober 2019 silam, sedangkan Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menyetujuinya menjadi Amdal pada 16 Desember 2019.
Padahal, papar Amien, proses persetujuan Amdal yang mengacu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 5/2012, memakan waktu paling cepat 120 hari.
Kejanggalan dan dugaan penyimpangan lainnya diutarakan oleh Merah Johansyah dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), salah satu elemen koalisi yang menolak penambangan pasir laut perairan Makassar. Dia melontarkan dugaan pelanggaran persaingan usaha tidak sehat adalah keberadaan Abil Iksan di dua perusahaan pemegang konsesi.