Jadwal Imsakiyah

Penjelasan Kenapa Imsak Muhammadiyah Lebih Lama 8 Menit dari Jadwal Pemerintah atau Kemenag RI

Editor: Mansur AM
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Berikut Penjelasan lengkap kenapa Imsak Muhammadiyah lebih lama 8 menit dibanding Jadwal Imsakiyah Kemenag RI

Imsak artinya menahan, sebagai bentuk kehati-hatian bahwa jadwal puasa sudah masuk.

Berikut Penjelasan lengkap kenapa Imsak Muhammadiyah lebih lama 8 menit dibanding Jadwal Imsakiyah Kemenag RI

Oleh
Andi Muhammad Ilham
Sekum PW Pemuda Muhammadiyah Sulsel 2010-2014

Tulisan ini dimuat di Tribun Timur cetak Rubrik Opini Tribun Timur edisi Selasa, 13 April 2021 dengan judul 8 Menit Dua Imsak Satu Subuh.

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Penetapan awal Ramadhan dan waktu Idhul fitri telah menjadi momentum yang akan menghadirkan pemaknaan umat Islam akan pentingnya ilmu falak (astronomi).

Dengan bersandar pada ketinggian bulan baru (new moon) terhadap posisi matahari (bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya matahari).

Memunculkan perbedaan metodologi dalam ilmu falak, diantaranya wujudul hilal (Hisab hakiki) seperti yang dijalankan persyerikatan Muhammadiyah dengan tiga syarat kumulatif yaitu telah terjadi ijtimak, ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam dan pada saat matahari terbenam Bulan (piringan atasnya masih di atas ufuk).  

Berbeda dengan kriteria  yang bersandar pada visibilitas tinggi hilal dimana jarak bulan dan matahari memungkinkan untuk dilihat (imkanurrukyat) dengan ketinggian tertentu.

Landasan kuat yang menjadi pilar ijtihadnya metode wujudulhilal adalah firman Allah SWT, “Matahari dan bulan beredar berdasarkan perhitungan” (QS ArRahman/ 55 : 5), ada juga, “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya serta menempatkan tempat-tempat (manzilah) orbitnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu (hisab)” (QS Yunus/ 10 : 5). Sebagai petunjuk imperatif agar memanfaatkan gerak benda langit (bumi, bulan dan matahari) untuk penentuan bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Belum tuntas permufakatan terkait penetapan penyatuan kalender Hijriah atau kalender Hijriah global tersebut.

Maka berdasarkan kriteria di atas (imkanurrukyat dan wujudulhilal), akan terjadi perbedaan penetapan idul Adha pada tahun 2022. Kemudian pada tahun 2023 terjadi perbedaan penetapan lebaran sekaligus Idul Adha, sebab tinggi hilal menjelang lebaran 1,7 derajat dan saat idul Adha tinggi hilal 0,9 derajat.

Untuk Ramadhan dan Idul Fitri tahun 2021 ini akan sama, karena ijtimak di atas 3 derajat.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah (PPM) kembali memantik umat Islam pada perspektif kepekaan nalar ilmu falak dan astronomi dengan penetapan waktu salat subuh yang lebh lambat.

Majelis Tarjih dan Tajdid yang membidangi pengambilan keputusan terkait upaya ijtihad dengan ikhtiar yang mengandung unsur kebaruan, kritis, dinamis dalam menjalankan problem dan tantangan perkembangan sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi umat Islam.

Berpijak dan berpedoman pada telaah dan analisis mendalam menggunakan teks al-Quran dan Hadis serta realitas objektif kondisi masyarakat yang terus berkembang.

Menurut Prof Amin Abdullah, Majelis Tarjih dan Tajdid memiliki modal penting dengan trilogi pendekatan dalam melakukan ijtihad yang dikenal dengan metode bayani, burhani dan irfani.

Di mana ketiga epistemologi Islam tersebut memiliki basis dan karakter yang berbeda.

Pengetahuan bayani didasarkan pada teks, burhani pada rasio, dan irfani pada intuisi.

Keputusan PPM nomor 734/KEP/I.0/B/2021 per tanggal 7 Syakban 1442 H/ 20 Maret 2021 tentang kriteria awal waktu subuh, juga akan berkonsekuensi pada ibadah lainnya.

Dimana waktu tersebut berkorelasi dengan akhir sholat witir, awal ibadah puasa, waktu subuh sendiri serta akhir waktu bila pelasanaan wukuf di Arafah.

Pelaksanaan waktu-waktu sholat fardhu jelas termaktub perintahnya dalam Alquran, “… Sungguh, sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (QS An-Nisa/ 4 : 103) 

Sejak sebelas tahun sebelumnya, yakni pada perhelatan Musyawarah Nasonal Tarjih ke-27 tanggal 1-4 April 2010 persoalan waktu Subuh (fajar sadik) telah menjadi diskursus, yang kemudian mengamanatkan kepada tiga lembaga untuk melakukan observasi terkait persoalan ini.

Observatorium lmu Falak (OIF) di Universitas Muhammadyah Sumatera Utara (UMSU) dengan menggunakan alat Sky Quality Meter (SQM) untuk mengukur tingkat kecerahan langit.

Kemudian Pusat Studi Astronomi (Pastron) di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyaarta dengan pengukuran di beberapa titik dengan perolehan data ketinggian matahari terendah pada minus 15,75 derajat.

Dan yang ketiga oleh Islamic Science Research Network (ISRN) di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) dengan lokasi pengambilan sampel di berbagai titik (Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang, DKI Jakarta, Cirebon, Gunung Kidul, Labuannbajo, Bitung, Balikpapan, Monokwari) termasuk di luar negeri (Inggris, Amerika Serikat, Malaysia, Mesir, Turki dan Saudi Arabia).

ISRN menyimpulkan dari 750 data Subuh (terbit fajar) berbagai daerah di dunia memiliki beragam data ketinggian awal waktu subuh.

Dari hasil penelitian ketiga lembaga tersebut dengan titik sampling yang tersebar, kemudian oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PPM mengundang pelibatan pakar astronomi dari Institut Teknologi Bandung.

Dalam pembahasan titik ketinggian matahari di bawah ufuk saat waktu fajar tersebut kemudian menyimpulkan bahwa ketinggian matahari awal waktu Subuh minus 18 derajat (di bawah ufuk).  

Hasil penelitan ini kemudan menjadi koreksi pada jadwal yang selama ini telah dipakai berpatokan pada minus 20 derajat, korelasinya adalah waktu Subuh yang selama ini dipakai terlalu kepagian sekitar 8 menit.

Nah, pelaksanaan Ramadan 1442 H tahun ini akan memunculkan perbedaan selisih selama 8 menit jadwal imsakiah yang beredar.

Sehingga ada yang masih dapat menyempurnakan salat witirnya, ada yang masih bisa menikmati sahurnya, sementara sebagian jamaah sudah bersiap-siap menggelar sholat Subuhnya.

Dibutuhkan kedewasaan menyikapi kondisi tersebut.

Implementasi puasa kita akan mengalami fase uji kematangan pada kondisi perbedaan waktu imsak dan subuh nantinya.

Puasa dan salat yang akan melahirkan jiwa muttaqin dengan semangat pengendalian diri dan saling memahami pada landasan ijtihad masing-masing.

Titik mediasi untuk mengawal kebersamaan jamaah subuh di masjid dan mushollah nantinya, adalah interval waktu adzan dan iqomah.

Panitia dan pengurus masjid agar tebuka untuk memberi ruang, dengan rentang  waktu sekitar 15 menit, sehingga setiap jamaah diharapkan dapat bersama-sama melaksanakan salat subuh berjamaah.

Bagi yang masih berpatokan pada jadwal lama dapat sunnat tahyatul masjid dan sholat sunnat sebelum subuh berjamaah. Sementara yang mengikuti ijtihad PP Muhammadiyah bila waktu mendesak disbanding lainnya, dapat mengumpulkan tahyatul masjidnya bersamaan sholat sunnatnya.

Perbedaan 8 menit menghadirkan perbedaan imsak dan waktu subuh ini, dapat disatukan oleh interval sholat sunnat sebelum subuh tersebut, sehingga semuanya tetap dalam satu barisan jamaah. Wallahu a’lam.(*)

Marhaban Yaa Ramadan.

Berita lain tentang Tanya jawab seputar Ramadhan  

Berita Terkini