TRIBUNSOPPENG.COM, WATANSOPPENG - Legislator Partai Gerindra Soppeng, Asmawi angkat bicara terkait tudingan pembalakan liar terhadap dirinya.
Menurutnya, tudingan pembalakan liar di kawasan hutan di Desa Umpungeng, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, salah alamat.
Lahan miliknya yang seluas 12 ha itu, diklaim masuk dalam kawasan hutan.
"Kalau lahan saya itu tidak masuk hutan lindung, cuma diklaim kawasan kurang lebih 2 ha, cuma masalahnya juga anak-anak tidak tahu kawasan itu, karena tidak lihat tanda-tanda," katanya, saat dikonfirmasi Tribun Timur, Rabu (21/4/2021).
Menurutnya, lahan miliknya tidak masuk dalam kawasan hutan.
Sebab, saat Asmawi membeli lahan itu, pemerintah setempat mengesahkan pembeliannya.
"Ini lahan kemarin dibeli, dan disahkan pemerintah setempat pembeliannya, adapun pengelola kebun menganggap bahwa tidak ada lokasi kawasan hutan," kata anggota Komisi I DPRD Soppeng itu.
Meski demikian, proses penyidikan terhadap kasus pembalakan liar yang dialamatkan padanya tetap berjalan di Gakkum KLHK wilayah Sulawesi.
Asmawi pun tak mengelak hal itu.
"Sudah dalam pemeriksaan saksi-saksi," katanya.
Informasi dihimpun, penebangan pohon-pohon di kawasan hutan Desa Umpungeng terjadi pada Desember 2020 lalu.
Aktivitas Asmawi diduga merambah ke kawasan hutan dan menebang pohon-pohon yang ada.
Terpisah, Koordinator Forum Solidaritas Advokat Muda (ForSam), Arfan Ridwan menyoroti lambannya penanganan hukum kasus ini.
Dirinya pun mengambil perbandingan dengan kasus tiga petani Soppeng di tempat yang sama yang telah dijatuhi vonis.
"Beberapa bulan lalu tiga petani di Soppeng divonis Pengadilan karena terbukti melakukan ilegal logging dalam kawasan Hutan Lindung yang terletak di Desa Umpungeng, Kabupaten Soppeng," katanya, beberapa waktu lalu.
Bahkan, sambung praktisi hukum asal Soppeng itu, selama proses penyidikan berlangsung protes datang dari berbagai pihak termasuk oleh anggota Komisi III DPR RI terkait isu kriminalisasi petani itu.
Padahal, mereka hanya menebang kayu yang ditanamnya sendiri untuk kebutuhan bahan rumah sederhana yang dibangunnya.
"Namun penyidik Gakkum KLHK Wilayah Sulawesi yang menangani perkara tersebut tidak menghiraukan protes publik, dengan tetap meneruskan kasus tersebut dan melakukan penahanan terhadap para tersangka," katanya.
Perlakuan berbeda pun dirasakan ketika menangani kasus pembalakan liar yang dilakukan oleh seorang oknum legislator.
"Isu praktek tebang pilih mengemuka seiring lambannya proses penetapan tersangka. Publik menuntut penyidik KLHK bertindak adil dengan segera menetapkan tersangka dan melakukan penahanan halnya dengan 3 warga sebelumnya," sambung Arfan.
Berdasarkan Pasal 82 Ayat (1) huruf c dan Pasal 83 Ayat (1) huruf b dan atau Pasal 84 Ayat (1) UU No 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan hutan, pelaku ilegal logging diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun, ditambah denda paling sedikit Rp. 500 juta dan paling banyak Rp. 2,5 miliar.