Begitu juga wasathiyyah antara boros dan kikir yang menunjuk pada pengertian tidak boros dan tidak kikir.
Artinya, Islam mengajarkan agar seseorang di dalam memberi nafkah tidak kikir dan tidak pula boros, melainkan ada di antara keduanya, yaitu al-karam dan al-jud.
Allah berfirman; وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)
Kedua, pemaduan antara dua hal yang berbeda/berlawanan.
Misalnya, (a). wasathiyyah antara rohani dan jasmani yang berarti bahwa Islam bukan hanya memerhatikan aspek rohani saja atau jasmani saja, melainkan memerhatikan keduanya.
Wasathiyyah antara nushûs dan maqâshid.
Itu berarti Islam tak hanya fokus pada nushûs saja atau maqâshid saja, melainkan memadukan antara keduanya. (b). Islam pun merupakan agama yang menyeimbangkan antara `aql dan naql.
Bagi Islam, akal dan wahyu merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan penting yang sifatnya komplementer (saling mendukung antara satu sama lain).
Kalau diibaratkan dengan pengadilan, akal berfungsi sebagai syahid (saksi) sementara wahyu sebagai hakim, atau sebaliknya, yakni akal sebagai hakim sementara wahyu sebagai syahid.
(c). Islam menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat, antara ilmu dan amal, antara ushul dan furu’, antara sarana (wasilah) dan tujuan (ghayah), antara optimis dan pesimis, dan seterusnya.
Ketiga, realistis (wâqi’iyyah).
Islam adalah agama yang realistis, tidak selalu idealistis.
Islam mempunyai cita-cita tinggi dan semangat yang menggelora untuk mengaplikasikan ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan hukumnya, tapi Islam tidak menutup mata dari realitas kehidupan yang–justru–lebih banyak diwarnai hal-hal yang sangat tidak ideal.
Untuk itu, Islam turun ke bumi realitas daripada terus menggantung di langit idealitas yang hampa.