Perubahan fatwa karena perubahan situasi dan kondisi, dan perbedaan penetapan hukum karena perbedaan kondisi dan psikologi seseorang adalah adil.
Selain ayat di atas, ada beberapa ayat dan hadits yang menunjukkan watak wasathiyah dalam Islam, misalnya firman Allah:
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra’: 29)
Dalam firman-Nya yang lain, وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra’: 110)
Sementara dalam hadits dikatakan,
خَيْرُ اْلأُمُوْرِ أَوْسَاطُهَا
“Sebaik-baik persoalan adalah sikap-sikap moderat.”
Mirip dengan hadits di atas adalah riwayat, وَخَيْرُ اْلأَعْمَالِ أَوْسَطُهَا وَدِيْنُ اللهِ بَيْنَ الْقَاسِىْ وَالْغَالِىْ
“Dan sebaik-baik amal perbuatan adalah yang pertengahan, dan agama Allah itu berada di antara yang beku dan yang mendidih.”
Wasathiyyah yang sering diterjemahkan dengan moderasi itu memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:
Pertama, keadilan di antara dua kezhaliman (عدل بين ظلمين) atau kebenaran di antara dua kebatilan (حق بين باطلين), seperti wasathiyah antara atheisme dan poletheisme.
Islam ada di antara atheisme yang mengingkari adanya Tuhan dan poletheisme yang memercayai adanya banyak Tuhan.
Artinya, Islam tidak mengambil paham atheisme dan tidak pula paham poletheisme, melainkan paham monotheisme, yakni paham yang memercayai Tuhan Yang Esa.