Komnas HAM Ungkap Kejanggalan Laporan Amien Rais Cs soal Kematian Laskar FPI Pengikut Rizieq Shihab

Editor: Edi Sumardi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Politikus Partai Amanat Nasional, Amien Rais. Komnas HAM ungkap kejanggalan laporan Amien Rais cs soal kematian laskar FPI pengikut Rizieq Shihab.

TRIBUN-TIMUR.COM - Komnas HAM ungkap kejanggalan laporan Amien Rais cs soal kematian laskar FPI pengikut Rizieq Shihab.

Tim advokasi kematian enam laskar Front Pembela Islam atau FPI mengklaim telah melaporkan kasus itu ke Mahkamah Internasional.

Tidak hanya itu, tim advokasi juga telah melaporkannya ke Committe Against Torture (CAT) yang bermarkas di Jenewa, Swiss, pada 25 Desember 2020.

Namun, Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM tak yakin pelaporan itu ke International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, sampai pengadilan.

Sebab, Indonesia bukan negara anggota Mahkamah Internasional karena belum meratifikasi Statuta Roma.

"Karena itu, Mahkamah Internasional tidak memiliki alasan hukum untuk melaksanakan suatu peradilan atas kasus yang terjadi di wilayah jurisdiksi Indonesia, sebab Indonesia bukan negara anggota (state party)," ujar Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik dalam keterangan tertulis, Senin (25/1/2021).

Adapun pelaporan kasus ini ke Mahkamah Internasional dilakukan Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) atas tewasnya enam laskar FPI yang digawangi Amien Rais dan koleganya.

Pelaporan ini berangkat dari kekecewaannya atas temuan Komnas HAM dalam kasus ini.

Taufan menjelaskan, Mahkamah Internasional lahir sebagai complementary untuk melengkapi sistem hukum domestik negara-negara anggota Statuta Roma.

Ia menyatakan, Mahkamah Internasional bukan peradilan pengganti atas sistem peradilan nasional suatu negara.

Dengan demikian, Mahkamah Internasional baru akan bekerja bilamana negara anggota Statuta Roma mengalami kondisi "unable" dan "unwilling". 

Sesuai Pasal 17 Ayat (3) Statuta Roma, kondisi "unable" atau dianggap tidak mampu adalah suatu kondisi di mana telah terjadi kegagalan sistem pengadilan nasional secara menyeluruh ataupun sebagian.

Akibat kegagalan tersebut, sistem peradilan di negara tersebut tidak mampu menghadirkan tertuduh atau bukti dan kesaksian yang dianggap perlu untuk menjalankan proses hukum.

Sementara, "unwilling" atau kondisi tidak bersungguh-sungguh, menurut Pasal 17 Ayat (2) Statuta Roma, adalah kondisi bila negara anggota dinyatakan tidak mempunyai kesungguhan dalam menjalankan pengadilan.

"Jadi, sesuai dengan prinsip primacy, kasus pelanggaran HAM berat tadi mesti melalui proses pengadilan nasional terlebih dahulu, Mahkamah Internasional tidak bisa mengadili kasus tersebut bila peradilan nasional masih atau telah berjalan," kata Taufan.

Ia menegaskan, Mahkamah Internasional tidak dirancang untuk menggantikan peradilan nasional.

Mahkamah Internasional hanya akan bertindak sebagai jaring pengaman apabila sistem peradilan nasional "collapsed" atau secara politis terjadi kompromi dengan kejahatan-kejahatan tersebut sehingga tidak bisa dipercaya sama sekali.

Karena itu, Komnas HAM meyakini pelaporan kematian 6 laskar FPI akan menemui hambatan.

Sebelumnya diberitakan, tim advokasi kasus kematian enam anggota laskar FPI mengaku melaporkan kasus penembakan ini ke Committee Against Torture (CAT) atau Komite Antipenyiksaan Internasional yang bermarkas di Jenewa, Swiss.

"Tim adokasi enam warga Sipil yang dibunuh sejak 25 Desember (2020) sudah mengirimkan laporan ke Commite Against Torture di Jenewa. Indonesia terikat dalam Konvensi Antipenyiksaan yang sudah diratifikasi melalui UU Nomor 5 Tahun 1998," ujar Ketua tim advokasi Hariadi Nasution kepada Kompas.com, Minggu (24/1/2021).

Selain ke Komite Antipenyiksaan Internasional, tim advokasi melaporkan kasus ini ke International Criminal Court (ICC).

Pelaporan ke ICC tidak hanya berkaitan dengan kematian enam laskar FPI, tetapi juga terkait dugaan pembunuhan dalam peristiwa 21-23 Mei 2019.

Adapun peristiwa 21-23 Mei 2019 yang dimaksud yakni saat demonstrasi menolak hasil Pilpres 2019 yang memenangkan Jokowi - Maruf Amin.

Dalam peristiwa itu, ada korban tewas.

Hariadi menyebut, pelaporan ini karena mereka melihat adanya mata rantai kekerasan aparatur negara yang cenderung sudah menjadi kebijakan bersifat permanen oleh penguasa.

"Perihal tanggapan dan diproses oleh pihak ICC, kami masih menunggu," kata Hariadi.

Komnas HAM, kata dia, isudah mengetahui langkah tim advokasi yang melaporkan ke ICC.

Dalam responsnya, kata Hariadi, Komnas HAM mengatakan bahwa laporan ke ICC akan sulit karena Indonesia bukanlah negara bagian dari Status Roma.

Akan tetapi, pihaknya tetap memperjuangkan kasus ini.

"Dalam hal perjuangan menegakkan hukum dan keadilan serta hak asasi manusia, kita akan terus melakukan upaya-upaya yang dianggap perlu dan sesuai dengan mekanismenya," ucap dia.

Dalam bentrok pada 7 Desember 2020 itu, enam anggota laskar FPI tewas ditembak polisi karena diduga menyerang petugas.

Komnas HAM menyimpulkan bahwa tewasnya empat dari enam laskar FPI termasuk kategori pelanggaran HAM dan mengindikasikan adanya unlawful killing.

Oleh karena itu, Komnas HAM merekomendasikan kasus tewasnya empat laskar FPI untuk dilanjutkan ke pengadilan pidana.

Komnas HAM juga merekomendasikan adanya pengusutan terhadap kepemilikan senjata yang diduga digunakan laskar FPI.

Rekomendasi lain Komnas HAM adalah pengusutan terhadap dua mobil yang membuntuti rombongan pemimpin FPI Rizieq Shihab, tetapi tidak diakui sebagai mobil polisi.

Terakhir, Komnas HAM meminta proses penegakan hukum yang akuntabel, obyektif, dan transparan sesuai dengan standar HAM.(*)

Berita Terkini